Millenial dan Budaya Membaca
Ilustrasi: Google.
Oleh: Rena Puji Wahyuni
Membaca merupakan kegiatan sederhana yang memiliki dampak amat besar. Bahkan tinggi dan rendah nya tingkat kemajuan suatu bangsa dapat diukur dari budaya membaca bangsa tersebut. Dalam Islam, membaca menjadi hal yang amat penting. Hal tersebut terbukti dengan diturunkannya ayat pertama dalam Al-quran yang diawali dengan kalimat “Iqro” yang berarti “Bacalah”.
Jika kita melihat bagaimana budaya membaca di Indonesia, mungkin kita harus mengamini mengenai keterkaitan budaya membaca dengan kemajuan suatu bangsa. Dikutip dari Rappler.com, angka membaca penduduk Indonesia tertinggal jauh dengan negara lainnya. Penduduk di negara maju membaca hingga 20 – 30 judul buku setiap tahun, sedangkan penduduk Indonesia hanya membaca tiga judul buku dalam setahun, itu pun pada usia 0-10 tahun. Sungguh perbedaan angka yang cukup jauh, hingga menjadikan Indonesia duduk di peringkat ke 60 dari 61 negara dalam hal minat membaca di “Most Littered Nation In the World” yang dilakukan oleh Central Connecticut State Univesity pada Maret 2016.
Apa sebenarnya permasalahan yang terjadi di Indonesia hingga menyebabkan sulit sekali mendorong penduduknya untuk gemar membaca? Jika menarik lurus kembali ke masa kecil, rasa-rasanya budaya membaca ini memang kurang ditanamkan. Pada bangku sekolah, hanya sebagian guru yang metitikberatkan pentingnya membaca. Terkait hal tersebut, seharusnya sang guru memberikan tanggungjawab kepada setiap murid untuk membaca satu buku yang kemudian akan diceritakan kembali di hadapan kelas nantinya. Maka, ada kemungkinan besar untuk kaum milenial saat ini terbiasa dengan membaca layaknya makan dan minum. Karena, hal serupa diterapkan di Finlandia sebagai negara yang duduk di peringkat 1 “Most Littered Nation In the World”, mereka mewajibkan siswa untuk membaca satu judul buku setiap minggu. Alih-alih terasa berat justru sangat mendorong anak-anak di sana untuk menjadikan membaca sebagai budaya mereka.
Sebagai kaum millenial seharusnya kita bisa membudayakan kegiatan membaca ini terutama dengan hadirnya teknologi-teknologi canggih. Akses bacaan semakin mudah didapat dengan hadirnya E-book serta bacaan-bacaan lainnya yang sangat mudah diakses melalui internet. Namun kondisi tersebut sangat kontradiktif dengan fakta saat ini yang justru membuat kaum millenial semakin malas membaca. Semakin cepat dan mudahnya akses informasi menyebabkan kaum millenial menjadi terbiasa dengan hal yang instan, sehingga setiap informasi yang didapat mudah untuk dipercaya tanpa melakukan riset dan verifikasi terlebih dahulu.
Bila dilihat kini dunia internet dikuasai oleh kaum millenial. Bahkan dalam survey APJII pada tahun 2017 pun presentasi tertinggi dalam penetrasi pengguna internet berdasarkan usia peringkat tertinggi diduduki oleh usia 13-18 tahun yakni 75,50% dan peringkat kedua oleh usia 19-34 tahun yakni 74,23%. Mereka mengaku dapat menghabiskan waktu selama 6 jam lebih perhari dalam mengakses internet. Durasi selama itu sebenarnya dapat digunakan untuk membaca satu buku ringan hingga tuntas bukan? Meski tak dipungkiri sebenarnya tercipta proses kegiatan membaca tersebut di dunia internet seperti halnya membaca chat atau membaca tweet seseorang di media sosial Twitter, namun biasanya konten yang dihadirkan tidak se-mengedukasi saat membaca buku.
Secara keseluruhan budaya membaca ini menjadi tanggung jawab seluruh aspek dalam masyarakat. Keluarga, lingkungan, dan pemerintah saling mempengaruhi dalam menciptakan budaya membaca ini. Menjadi sebuah tantangan baru juga bagi para penulis buku untuk bisa menyesuaikan dengan minat kaum millenial saat ini. Jika buku kini sudah mulai ditinggalkan, penulis harus cerdas dan melihat peluang di dunia internet dengan menyajikan tulisannya secara digital dan dihadirkan sekreatif mungkin untuk menarik minat kaum millenial ini.
Editor: Rizky Mardiyansyah