Bangsa yang Musnah; Hasil dari Pemusnahan Buku?

Tahun 1993 pada bulan Mei, seluruh Universitas di Jerman membakar buku-buku yang bertentangan dengan NAZI. Kota Opernplatz menjadi saksi bisu puncak pembakaran buku yang dilakukan oleh mahasiswa di Jerman pada saat itu.

Pada dekade 1200-an, bala tentara Mongol menghancurkan perpustakaan yang di dalamnya terdapat buku-buku astronomi, kedokteran, serta pendidikan. Dikabarkan sungai Tigris menghitam akibat tinta buku yang luntur saat itu.

Di Indonesia sendiri, rezim pemerintah Orde Lama sempat mengeluarkan UU No.4 Tahun 1963 di mana Kejaksaan Agung memiliki hak untuk membredel dan menghancurkan buku-buku yang dianggap mengganggu ketertiban umum. Lalu pada rezim Orde Baru, penghancuran dan pelarangan percetakan pada judul buku tertentu menjadi yang terbanyak terhitung hingga saat ini.

Buku adalah rekaman visual mengenai ingatan yang didapat sekaligus bisa menjadi rantai penghubung antar zaman. Bahkan beberapa buku ditulis dengan waktu yang lama, tenaga yang banyak, hingga isi kepala yang terus dikeruk yang membuat si penulis menghabiskan hampir separuh hidupnya untuk sebuah buku.

Jika dilihat kembali mengenai latar belakang setiap kasus penghancuran buku yang pernah terjadi, sebenarnya dapat ditarik benang merah bahwa para pelaku penghancuran buku tersebut datang dari kaum-kaum intelektual yang mengerti tentang ilmu pengetahuan. Motif perbedaan ideologis menjadi salah satu faktor terjadinya pemusnahan tersebut tak peduli betapa berharganya setiap isi yang terdapat dalam buku tersebut. Misalnya seorang penguasa yang ingin melindungi pemikiran rakyatnya, faktor etnis, dan motif subjektif lainnya.

“Langkah pertama untuk memusnahkan suatu bangsa,” Kata Hubl,” adalah menghapuskan memorinya. Hancurkan buku-bukunya, kebudayaannya, dan sejarahnya. Kemudian suruh seseorang menulis buku-buku baru, membuat kebudayaan baru, dan menemukan sejarah baru. Tak lama setelah itu bangsa itu akan melupakan apa yang terjadi sekarang dan apa yang terjadi di masa lampau. Dunia di sekelilingnya bahkan akan melupakan lebih cepat.” (Kita Lupa dan Gelak Tawa karya Milan Kundera).

Karenanya, ketika sebuah negara merebut negara lain maka langkah selanjutnya setelah mendudukinya adalah memusnahkan ingatan dan budaya daerah kekuasaannya dengan cara membakar buku-buku yang ada. Jika buku-buku dimusnahkan lalu budaya baru kembali ditulis namun tidak sesuai dengan kenyataan sebelumnya, maka suatu saat kita hanya akan menjadi hasil dari pemusnahan dan bukan dari sejarah itu sendiri.

Lantas bagaimana kita menyelematkan isi buku dari para penjagalnya?

Jawabannya adalah membacanya.

Setiap buku bisa dihancurkan, namun isi buku yang terekam dalam ingatan tidak akan pernah bisa untuk dihapus selama manusia masih dalam keadaan hidup dan membaca buku.

Selamat Hari Buku Nasional! Jangan lupa membaca buku hari ini!.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *