Menilik Langkah R.A. Kartini Dalam Ber-Agama

Raden Adjeng Kartini, seorang gadis jawa yang tak biasa. Raden ayu yang berasal dari kalangan bangsawan tersebut merupakan seorang wanita pemberontak yang berhati rakyat. Bukan pemberontak bersenjata pedang, melainkan sebuah pena. Ia menulis tentang kesengsaraan pribumi, nasib kaum wanita, pendidikan di negeri jajahan, hingga kejahatan di balik kedok islam. Semuanya ia siratkan dalam bentuk surat yang ditujukan kepada para sahabatnya di Belanda yang pada akhirnya membuka mata dunia.

Kartini adalah seorang muslimat selama hidupnya. Namun, hingga kini masih banyak orang yang mempertanyakan agama beliau. Seperti yang tertera dalam buku karya Aguk Irawan MN “Kartini: Kisah yang Tersembunyi”, ada bagian yang menceritakan keraguan Kartini dalam mempelajari agamanya. Dalam buku itu tertulis bagaimana Kartini bisa terus melakukan perintah

Allah SWT, sementara ia sendiri tidak paham mengapa semua itu perlu dilakukan. Termasuk membaca Al-Quran. Di sana tertera percakapan Kartini dengan kakaknya. Kartini mempertanyakan “Bagaimana saya bisa paham terhadap apa yang saya baca bila saya tidak mengerti arti dan maksudnya?”.

R.A Kartini dan Tafsir Al-Quran

Pada saat itu memang belum ada penerjemah Al-Quran dari Bahasa Arab ke Bahasa Jawa. Karena aturan Belanda yang melarang keras ulama untuk menerjemahkan dan menafsirkan Al- Quran ke dalam Bahasa Jawa. Banyak pandangan-pandangan muslim di kalangan bangsanya sendiri yang beranggapan bahwa Kartini seorang muslimat yang pernah terpengaruh pemikiran-pemikiran liberal-sosialis dan Yahudi. Namun, setelah bertemu dengan Kiai Soleh Darat, pemahaman Kartini akan islam menjadi lebih kuat. Kiai Soleh Darat merupakan penerjemah Al-Quran pertama di Nusantara. Dalam menerjemahkan Al-Quran pun beliau terinspirasi dari tokoh emansipasi wanita ini.

Pertemuan Kartini dengan Kiai Soleh terjadi pada sebuah pengajian di rumah bupati Demak pada saat itu. Sang Kiai menjelaskan tafsir dari Surah Al-Fatihah. Kartini pun menuturkan kepada sang Kiai, bahwa selama hidupnya baru kali itu Kartini bisa mengerti arti dan maksud dari Surah Al-Fatihan. Menurutnya, isi dari surah itu sungguh luas, indah dan menggetarkan dirinya. Ia pun bertanya mengapa tidak ada penerjemah Al-Quran agar semua umat islam yang ada di tanah Jawa bisa mengerti arti dan maksudnya.

Pemikiran Kartini membuat tergugahnya kesadaran Kiai Soleh untuk melakukan pekerjaan besar yaitu menerjemahkan Al-Quran ke dalam Bahasa Jawa dengan melanggar aturan Belanda saat itu. Sang Kiai menerjemahkannya menggunakan tulisa pegon : huruf yang dipakai adalah huruf Arab, namun bahasa yang dituliskan adalah Bahasa Jawa. Semua itu dilakukan sang Kiai guna menutupi langgarannya itu. Terjemahan Al-Quran ini disebut dengan Kitab Faidhur Rahman, tafsir Al-Quran pertama dalam Bahasa Jawa dengan aksara Arab.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *