Gelar Konferensi Pers, Warga Tamansari Tetap Bersikukuh Menolak Rumah Deret
BANDUNG – Sejumlah warga RW 11 Tamansari menggelar konferensi pers pada Minggu (11/02) di Mesjid Al-Islam Tamansari, Bandung. Hal tersebut dilakukan warga guna meluruskan informasi yang tidak valid terkait pemberitaan yang dilakukan oleh beberapa media massa. Pasalnya, sebagian besar warga Tamansari masih menolak proyek pembangunan rumah deret yang akan dilakukan oleh Pemerintah Kota Bandung. Mereka menilai bahwa ratusan orang yang mengaku warga Tamansari dan setuju untuk direlokasi oleh Pemkot Bandung merupakan warga yang berstatus “mengontrak” di wilayah tersebut.
Sambas Sadikin (56) Warga RW 11 Tamansari, menilai bahwa 95% warga yang menyatakan setuju akan relokasi yang dilansir oleh Tribun Jabar per 30 Januari 2018 merupakan sejumlah warga yang dibayar. Hal tersebut dituturkan karena ia melihat ketidaklogisan saat sejumlah warga yang setuju mengadakan aksi tandingan.
“Mereka (warga yang setuju) dipimpin bukan oleh warga asli loh, memang mantan ketua RW tapi orang Cirebon yang tinggal sama istrinya.” ungkap Sambas saat berlangsungnya konferensi pers pada minggu siang.
Sambas mengatakan, ada beberapa warga yang pernah tinggal di RW 11 Tamansari namun hanya berstatus mengontrak, dan sekarang sudah tidak lagi beratapkan di Tamansari. Ia menilai, saat itulah terjadi manipulasi data bahwa segelintir warga yang masih memiliki Kartu Tanda Penduduk (KTP) beralamatkan Tamansari mengatakan setuju dengan relokasi yang akan dilakukan Pemkot. Ia juga menambahkan bahwa ada kejanggalan namun bukan dari mantan warga Tamansari, melainkan dari pihak Pemkot itu sendiri.
Eva Eryani, yang berprofesi sebagai penjahit di RW 11 Tamansari menuturkan bahwa Pemkot belum melakukan langkah persuasif maupun negosiasi dengan warga terkait proyek rumah deret ini, sehingga membuat warga kebingungan serta tidak tahu-menahu akan proses pembuatan rumah deret tersebut.
“Keinginan warga bukan direlokasi ke Rancacili, kita sendiri belum tahu proyek ini akan seperti apa,” ujar Eva. Hal tersebut menjadi alasan bagi sejumlah warga yang masih bersikukuh mempertahankan kediamannya.
Rizki Zulfikar selaku Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandung mengatakan, awal mula warga menggugat SK DPKP3 Pemerintah Kota Bandung ke Pengandilan Tata Usaha Negeri (PTUN) adalah karena dinilai adanya cacat prosedur. “Adanya ketidaksesuaian antara dasar yang menjadi acuan dalam SK tersebut, yaitu Undang- Undang No. 2 Tahun 2012 tentang pengadaan tanah untuk kepentingan umum,” ucap Rizki.
Ia juga mengatakan bahwa ketika pemerintah akan menggunakan tanah untuk kepentingan pembangunan, harusnya menempuh beberapa tahapan terlebih dahulu, yakni penentuan lokasi, penentuan nilai kompensasi, serta kesepakatan dengan warga. Dari beberapa tahapan tersebut ia menambahkan bahwa beberapa tahapan khususnya SK DPKP3 tidak dilalukan oleh Pemkot Bandung.