Sebuah Bias Norma; Kerancuan Seksualitas di Bumi Pertiwi.

Iring-iringan yang terdengar sangat gaduh dipenuhi dengan cacian, mewarnai suatu malam yang cukup ramai di daerah Cikupa, Tangerang, Banten. Kala itu, warga berbondong-bondong mengarak sepasang kekasih yang mereka tuduh sebagai pasangan mesum.

“Rasakeun siah! *wean di kampung batur!” — atau bila diartikan ke dalam Bahasa Indonesia, “Rasain kalian, udah mesum di kampung orang!”

Ucapan-ucapan kasar pun terlontar begitu ringan dari mulut-mulut  para hakim gadungan ini. Bahkan ada pula yang secara terang-terangan menyebutkan salah satu bagian tubuh Si Wanita. Tak puas sampai di situ, Si Lelaki yang telah  dipaksa telanjang dan  hanya menyisakan celana dalam, tiba-tiba dipukuli tak karuan. Sementara melihat kekasihnya dihajar warga, Si Wanita berteriak “Jangan! Jangan!”. Mendengar hal itu, warga pun semakin beringas, wanita yang juga didesak untuk sekadar memakai celana dalam dan T-shirt ini pun  menjadi sasaran amuk.  T-shirt yang dikenakannya sebagai pelindung terakhir, lantas dipereteli paksa oleh salah seorang warga bertopi merah.  Aurat wanita ini seketika terbuka bebas, dan dipandangi oleh mata-mata jalang yang pastinya tak akan melewatkan kesempatan ini. Di tengah situasi yang kacau balau, Si Lelaki masih mampu menunjukan kasih sayangnya terhadap wanitanya. Ia lalu memungut baju yang sudah tergeletak di lantai dan memakaikannya pada Si Wanita.

Seperti itulah gambaran dari sebuah video yang sedang viral di dunia maya sejak kemarin. Awalnya, saya tak sampai hati untuk membuka video arak-arakan pasangan kekasih tersebut, namun pada akhirnya rasa penasaran saya pun mengalahkan kekhawatiran saya. Satu kata yang tebersit dalam pikiran saya setelah menonton video berdurasi 4 menit itu, ‘Bangsat!’.  Lalu, atas dasar apa mereka bisa bertindak semena-mena pada manusia lainnya?  Tuduhan berzina dan embel-embel norma sosial & agama tentunya tak dapat dijadikan sebuah landasan untuk melakukan perbuatan amoral yang mereka lakukan pada Sabtu (11/11) malam.

Ketika menggali informasi ke kanal-kanal berita online mengenai video tersebut, saya pun menemukan satu fakta yang semakin membuat saya geram. Faktanya, pasangan yang sebentar lagi hendak menikah ini hanya sedang menikmati makan malam bersama di kontrakan Si Wanita. Sejumlah warga yang kadung tersulut pemikiran-pemikiran negatif pun menggrebek  kontrakan itu tanpa berpikir panjang.  Dampak dari kebodohan mereka pun kontan mengantarkan mereka masuk ke dalam sel penjara, atas dasar tuntutan perbuatan tak menyenangkan dan kekerasan. Pelaku yang notabene terdiri dari bapak-bapak paruh baya—termasuk Pak RT dan Pak RW— itu pun satu-persatu digelandang petugas kepolisian.

Kalau diingat-ingat, kejadian serupa juga kerap terjadi di tahun-tahun sebelumnya. Penggerebekan demi penggerebekan dilakukan—yang katanya sih— demi menegakan norma sosial yang sangat rigid di Indonesia. Sayangnya, tindakan tersebut tak ayal hanyalah sebuah bagian dari bentuk kemunafikan pihak-pihak tertentu yang ingin mencuri kesempatan untuk melakukan pelecehan seksual. Maka terjadilah bias norma di tengah-tengah masyarakat  Indonesia ketika sesuatu yang juga melanggar norma, dianggap benar bila dilakukan berbondong-bondong dengan alasan agama atau norma sosial yang berlaku di suatu tempat.

Bila ingin berbicara tentang agama, di dalam Agama Islam, perkara ini sangatlah diatur sedemikian rupa. Seseorang bisa dikatakan dan tertuduh berzinah bila terdapat empat orang saksi mata yang melihat secara langsung proses penetrasi yang dilakukan saat itu juga, tidak melalui perantara seperti video ataupun mendengar cerita dari orang lain. Prasangka berzinah dan penggerebekan yang terjadi di Indonesia pun tentu saja sudah tidak sesuai lagi dengan Syariat Islam. Hal itu jelas merupakan sebuah kebodohan yang terlanjur membentuk pola pikir yang menyimpang di tengah masyarakat.

Lalu, seperti apakah sebenarnya peraturan berhubungan seksual berdasarkan hukum di negara ini?  Melanggar peraturankah pasangan muda-mudi yang belum terikat pernikahan dan melakukannya atas dasar kesadaran  suka-sama-suka?

Hukum Positif di Indonesia mengatur dan memberikan sanksi pidana kepada pelaku hubungan seks di luar nikah jika ;

  1. Apabila salah satu pelaku perzinahan terikat pernikahan. (Pasal 284, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana/ KUHP)
  2. Melakukan perzinahan dengan seorang wanita yang padahal diketahui atau sepatutnya harus diduga, bahwa umurnya belum 15 tahun, atau kalau tidak nyata berapa umurnya, bahwa ia belum masanya untuk kawin. (Pasal 287, 290 KUHP)
  3. Melakukan perzinahan dengan ancaman kekerasan atau melakukan perkosaan. (Pasal 285 KUHP)
  4. Melakukan perzinahan, padahal diketahui bahwa wanita itu dalam keadaan pingsan atau dalam keadaan tidak berdaya. (Pasal 286 KUHP)

“Selain dari kondisi-kondisi yang diatur dalam pasal-pasal KUHP di atas, maka berdasarkan azas legalitas, seseorang yang melakukan hubungan seks dengan pacarnya atas dasar suka sama suka atau keputusan bersama, tidak dapat dijerat pasal perzinahan.”  (Liza Elfitri, S.H., M.H. www.hukumonline.com)

Yap, hubungan seksual di luar nikah di negara ini bisa dikatakan legal dilakukan jika sudah sama-sama mencukupi umur dan tidak melanggar Undang-Undang Pornografi dan Pornoaksi tentunya. Namun, sosial-budaya di Indonesia yang menjungjung tinggi adat ketimuran masih menganggap bahwa seks merupakan hal yang tabu bila dilakukan sebelum menikah. Well,  sebenarnya tidak ada yang salah dengan budaya ini, juga tidak ada yang salah bila sepasang kekasih memilih untuk melakukannya sebelum mereka menikah. Semuanya adalah pilihan, bagaimana kita menyikapi perbedaan dalam cara berpikir dan toleransi merupakan kunci dari kemelut masalah ini. Tolak ukur buruk ataupun baik, tidak bisa kita paksakan hanya pada pembenaran-pribadi ataupun fanatisme belaka yang pada akhirnya merugikan banyak pihak.

 

“Bener kang asale saka Pangeran iku lamun ora darbe sipat angkara murka Ian seneng gawe sangsaraning liyan : Kebenaran yang berasal dari Tuhan itu adalah yang tiada sifat angkara murka dan menyengsarakan orang lain.  Salah kalau mempunyai sifat angkara murka dan suka menyengsarakan orang lain.”

– Peribahasa Jawa

 

Teks oleh: Zahra Sarah

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *