Saatnya ‘Tiga-Setengah Jam Benci’ (Sekali Lagi)

Mata acara Dua Menit Benci berubah-ubah dari hari ke hari, tetapi tak ada yang tidak menampilkan Goldstein sebagai tokoh utama. (…) Pada menit kedua acara Benci berubah menjadi keberingasan. (…) Hal yang mengerikan dari acara Dua Menit Benci ini bukanlah bahwa orang wajib ikut ambil bagian, melainkan sebaliknya, bahwa orang mustahil menahan diri bergabung. Dalam tiga puluh detik, pretensi selalu tidak diperlukan. Puncak kenikmatan rasa takut dan kekejian yang tersembunyi, keinginan membunuh, menyiksa, meremuk wajah orang dengan martil, seperti membanjiri seluruh kumpulan orang itu, mengubah orang, bahkan secara bertentangan dengan kemauannya sendiri, menjadi orang gila yang menyeringai dan meraung. Tetapi, kobaran amarah yang dirasakan orang itu adalah emosi yang abstrak dan tidak terarah, yang dapat dialihkan dari objek satu ke objek lain seperti nyala alat las.

 

# # # # #

 

Kutipan narasi di atas berasal dari novel fenomenal karya George Orwell, Nineteen Eighty-Four (lazim dikenal sebagai ‘1984’) yang diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh Landung Simatupang. Dipublikasikan pertama kali pada 1948, Orwell menceritakan masa depan suram Sosialisme Inggris—juga disebut Engsoc atau Sosing—pada tahun yang angkanya menjadi judul buku tersebut. Acara Dua Menit Benci yang dideskripsikan di atas merupakan tayangan wajib-tonton bagi para warga negara, menampilkan parodi jelek dari Emmanuel Goldstein, sosok yang (konon) memberontak terhadap sang pemimpin Big Boss (Bung Besar). Dua Menit Benci, sebagaimana namanya, memancing rasa benci di dalam diri penonton, terlepas dari tujuan kebencian itu sendiri pada akhirnya.

Orwell tampaknya bukan hanya seorang penulis distopia ulung—ia juga merupakan peramal jitu atas berbagai krisis moral yang terjadi beberapa dekade setelah karyanya terbit.

Bicara soal Dua Menit Benci, barangkali sebagian dari kita merasa familiar dengan situasi yang digambarkan Orwell. Ada sebuah film yang pernah dirilis di Indonesia pada 1984 (oh, ironi!) dan tengah menjadi buah bibir selama beberapa pekan terakhir karena mulai kembali tayang dengan sistem yang sama seperti pada masa keemasannya: wajib-tonton bagi rakyat Indonesia. Kita mengenalnya dengan judul Penumpasan Pengkhianatan G30S-PKI. Film berdurasi sekitar 3,5 jam ini—ya, benar; nyaris dua kali lipat dari durasi tayangan di layar lebar pada umumnya—disutradarai oleh Arifin C. Noer dan mendapat dana produksi serta promosi langsung dari pemerintah Orde Baru. Di tahun 2017 ini, pemerintah dan TNI kembali menganjurkan masyarakat untuk menonton film tersebut bersama-sama. Penayangannya bahkan bakal dilakukan di stasiun TVOne, dengan bantuan promosi melalui akun media sosial Twitter milik partai Golkar (mata pun memicing curiga).

Secara garis besar, Pengkhianatan G30S-PKI merekonstruksi kisah kudeta gagal antek-antek Partai Komunis Indonesia (PKI) terhadap pemerintahan Orde Lama di bawah rezim Sukarno dengan menculik dan membunuh anggota Dewan Jenderal dengan sadis. Sebagai pamungkas, dikisahkan pula perjuangan Mayor Jenderal Soeharto dalam menggagalkan usaha kudeta tersebut. Kalau boleh jujur (berhubung di negara ini riskan jika berkata jujur), banyak unsur propaganda penguasa, perombakan data sejarah, dan penggiringan opini pada film tersebut. Lantas, kenapa rakyat (bahkan siswa-siswi Sekolah Dasar!) dianjurkan menonton Pengkhianatan G30S-PKI saat itu hingga belakangan ini? Secara halus, “Agar masyarakat Indonesia dapat lebih memahami sejarah, mewaspadai bahaya laten komunisme, dan menghargai jasa para pahlawan yang gugur pada 30 September 1965.” Secara kasar, “Agar masyarakat Indonesia yakin kalau PKI dan segala kecenderungan terhadap Marxisme-komunisme itu jahat, maka mereka harus membencinya tanpa ruang toleransi.”

Belum tentu juga skenario emosi penonton akan serupa dengan deskripsi Orwell pada bukunya; namun bayangan akan dampak dari film bermuatan sadisme tersebut bagi audiensnya masih terus menghantui. Lebih horor ketimbang hantu komunisme yang, ceritanya, sedang berusaha diusir dengan pemutaran film tersebut. Kemudian ingatan pun melempar diri menuju ke 13 tahun yang lalu, saat seorang anak perempuan berpakaian rok merah dan kemeja putih mengalihkan pandangan dari adegan provokatif yang diproyeksikan pada permukaan dinding kelasnya, sementara beberapa teman sekelasnya (kebanyakan anak laki-laki) justru bersorak-sorai dan memekik, “Tusuk! Tusuk! Bunuh!” setiap kali adegan serupa tampil di dinding kayu itu. Si anak perempuan tidak mengerti persis tentang film yang ditontonnya, namun perasaan benci (bukan terhadap peran protagonis atau antagonis dalam film tersebut—hanya kebencian murni), jijik, dan ngeri masih bersemayam di dalam dirinya hingga bertahun-tahun kemudian (ia bahkan harus membayar Rp500,00 untuk film yang tidak ingin ia tonton—itu yang paling menyedihkan). Emosi tersebut kembali muncul saat ini, ketika banyak aksi anti-komunisme digelar oleh segelintir oknum atas nama ‘darurat komunisme’ dan ‘menumbuhkan semangat bela negara’.

Maka Pengkhianatan G30S-PKI menjelma sebagai versi Indonesia dari Dua Menit Benci, dulu dan sekarang.

Omong-omong, adik dari penulis pun mengabarkan kalau ia “diharuskan menonton Pengkhianatan G30S-PKI” oleh pihak sekolahnya pada Senin (2/10) nanti. Bahkan awalnya ada edaran yang mewajibkan para siswa untuk ikut menonton bersama di lapangan milik sebuah kompleks kediaman tentara pada malam Minggu (30/9), namun guru-guru sekolah tersebut menolak karena pertimbangan keamanan bagi murid-muridnya. Sempat lega karena mengira rencana tersebut urung dilaksanakan, si adik pun diam-diam kecewa karena mereka tetap harus menonton tayangan tersebut dua hari setelahnya.

Akhir kata, mari kita sambut momentum pengingat-sejarah ini dengan, “Selamat datang kembali, Tiga-Setengah Jam Benci!”

 

Teks oleh: Salsabila

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *