Tujuh Puluh Dua Tahun, Indonesia (belum) Merdeka; Dirgahayu RI.
Tujuh puluh dua tahun Indonesia Merdeka. Ya, merdeka yang berarti bebas. Bebas dari segala tekanan, penindasan, ketidakadilan, dan tidak terbelenggu dari bentuk apapun yang menghalangi kebebasan itu sendiri. Tepat di tanggal 17 Agustus, 72 tahun yang lalu, para pejuang kita berhasil mewujudkan mimpi yang membuat rakyat Indonesia bisa mengecap sebuah kemerdekaan.
Jika ada yang bertanya;
“Apakah Indonesia sudah merdeka?”
Saya akan menjawab, mungkin iya Indonesia kini telah merdeka. Tetapi Indonesia hanyalah terbebas dari penjajahan bangsa asing di saat itu.
Namun, bila pertanyaannya adalah;
“Apakah benar Indonesia sudah tidak lagi terjajah?”
Saya akan menjawab belum. Karena, jika dulu para pejuang melawan bangsa asing, maka sekarang kita melawan bangsa sendiri. Pernyataan ini memang terdengar klise. Tetapi bila kita melihat insiden yang pernah terjadi di Indonesia beberapa waktu lalu, maka pernyataan tadi membuktikan bahwa Indonesia belumlah sepenuhnya merdeka.
Sudah beberapa tahun belakangan ini, dunia pendidikan di Indonesia tercemar oleh isu penindasan di sekolah. Salah satunya, kasus dimana sembilan orang anak SMP Negeri 273 Jakarta, melakukan penindasan kepada seorang siswi. Siswi tersebut dikerumuni, kemudian dijambak, ditampar, hingga dipaksa mencium tangan salah satu siswa. Tidak hanya itu, aksi mereka bahkan direkam oleh salah seorang dari mereka. Miris, generasi yang seharusnya masih duduk di bangku sekolah dan mengenyam pendidikan dengan benar justru terlihat bangga ketika melakukan penindasan terhadap temannya sendiri.
Selain tercorengnya pendidikan, di bumi pertiwi ini rasisme masih menjadi persoalan yang panas. Ketika ras dan agama menjadi senjata para tikus-tikus yang menginginkan kekuasaan dalam arena rumble pemilihan kepala daerah, mereka berteriak ‘Kafir’ kepada orang-orang yang tidak satu keyakinan. Hal tersebut terjadi di berbagai daerah, salah satu contohnya adalah pemilihan gubernur di Jakarta, pada April lalu. Pemilihan tersebut sempat menimbulkan perpecahan diantara rakyat Indonesia sendiri.
Lalu di tahun 2017, mencuatlah fakta-fakta terjadinya praktik korupsi dan oknum-oknum yang memperkaya diri dari proyek kerja pemerintah. Mereka merugikan negara hingga triliunan rupiah. Lagi-lagi, anak bangsalah yang melakukan korupsi tersebut. Salah satu contoh nyatanya adalah proyek E-KTP.
Jika kita melihat lebih teliti, dalam kasus ini memang banyaklah kejanggalan, seperti blangko pembuatan E-KTP yang diklaim habis dari pusat. Lalu kemanakah anggaran yang sudah disiapkan pemerintah untuk pembuatan blangko bagi dua ratus enam puluh juta penduduk Indonesia? Munculah instansi yang membuka fakta praktik tersebut, yang tidak lain adalah KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi). Mereka membeberkan bahwa, pelaku penyelewengan tersebut ada di dalam badan DPR (Dewan Perwakilan Rakyat). Dewan-dewan terhormat ini pun mulai ditangkap satu-persatu dan diselidiki. Tetapi ada hal yang unik, mereka justru bersatu padu melemahkan penyelidikan. Lucu disini adalah, di punggung mereka melekat nama Dewan ‘Amanat’ Rakyat. Lantas, rakyat manakah yang mengamanatkan mereka?
Belum lagi, munculnya kasus tentang Fidelis yang menanam ganja demi kesembuhan istrinya. Ketika perjuangan anak bangsa yang hanya ingin menyembuhkan orang tersayang, ia harus mendekam di penjara karena kesalahannya menggunakan tanaman yang masih belum dilegalkan di negara ini. Jika kita cermati, penangkapannya tidaklah manusiawi. Atas nama hukum, mereka lupa ada yang namanya ‘kemanusiaan’. Seorang suami yang hanya ingin istrinya sembuh, menemukan manfaat dari ekstrak ganja yang membuat sang istri yang mengidap penyakit syringomyelia itu bertahan hidup. Namun atas nama hukum, Fidelis tidak bisa lagi merawat istrinya lagi hingga ajal menjemputnya.
Tujuh Puluh Dua Tahun Indonesia (belum) Merdeka, sederet peristiwa di atas hanyalah contoh-contoh kecil dari bentuk penjajahan yang beragam bentuknya. Indonesia yang kemerdekaannya telah mencapai tujuh puluh dua tahun itu tidak lebih sama dengan Indonesia sebelum tahun 1945. Indonesia haruslah merdeka dari segala bentuk praktik penjajahan. Maka mundurlah dan diamlah sejenak. Lihatlah… apa yang bisa kita lakukan untuk bangsa ini?
Teks oleh: Maudy Rizkiana