Ibu Kita Kartini, dan ‘Girl Power Trend Nowadays’
Kemarin tante saya bercerita tentang dua bocah lelaki di depan rumah, si bocah yang paling kecil katanya mengekor dan bertanya banyak hal pada tante saya. Ia terlihat cerdas sekaligus lucu ketika mengajukan beberapa pertanyaan. Hal ini membuat tante berkomentar, “Asyik gitu ya ngobrol sama anak tadi. Ibunya kemana sih gak pernah liat.” Saya pun menjelaskan, bahwa ibunya adalah seorang dosen di sebuah universitas negeri ternama sehingga si ibu memang terkenal sibuk. Ketika selesai menjelaskan hal itu pada tante, tiba-tiba sebersit pemikiran menghantam saya dengan keras dan menyadari sebuah realitas yang membuat hati saya ngilu. Kenyatannya berarti, sang ibu tetangga depan rumah mencerdaskan ratusan mahasiswanya setiap hari, sementara kedua bocah kandungnya diasuh oleh asisten rumah tangga yang berumur masih sangat belia. Okay … ironis sekali ya. (Lead)
Hari Kartini yang jatuh setiap tanggal 21 April tentunya diperingati sebagai momen kelahiran Raden Adjeng Kartini, seorang tokoh emansipasi wanita Indonesia yang memperjuangkan hak-hak kecerdasan wanita. Kala itu ia merasa sedih karena wanita pribumi tidak banyak yang bisa membaca dan berpendidikan, seakan ilmu pengetahuan hanya dipersembahkan kepada kaum lelaki. Mereka juga tidak mempunyai pilihan dalam kehidupannya selain menjadi gadis-gadis yang dipingit dan berakhir dengan status ‘istri-orang’ .
Namun apa yang sebenarnya ia resahkan bukanlah persoalan wanita yang lalu menikah dan menjadi seorang ibu. Sama sekali tidak ada yang salah tentang hal itu. Kartini hanya menuntut bahwa seorang wanita berhak mempunyai pilihan dalam menentukan nasibnya sendiri. Yap, pilihan dalam menentukan pasangan hidupnya, dan bukan perjodohan. Pilihan untuk melakukan sesuatu yang lebih bermakna dalam hidup seorang wanita, dan yang terpenting adalah pilihan untuk menjadi wanita cerdas dan berwawasan luas.
Sayangnya, di era serba emansipasi dan modernitas ini, dimana seorang wanita kini bebas berpendidikan, membuat perjuangan Kartini di masa lalu diartikan secara bias. Fenomena Girl Power yang mungkin terjadi pada si ibu dosen depan rumah, rupanya juga meranjingi banyak wanita muda, hal ini seolah menjadi letupan bom pelampiasan dendam yang bertahun-tahun terpendam. Tagline “We can do it!” dengan gambaran seorang wanita yang terkesan kuat bagai tokoh superhero wonder woman membanjiri mind set kaum hawa di masa kini.
Sekarang kaum wanita bisa melakukan apa saja yang mereka kehendaki. Ingin jadi seniman tulis, lukis, pahat, tari atau jadi musisi? Tidak ada yang melarang. Menjadi model atau bintang film terkenal? Tinggal pilih rumah agensi. Mau jadi professor? Tidak sedikit kok wanita-wanita yang berhasil mendapatkan gelar ini. Atau bahkan ingin menjadi seorang presiden? Bisa. Apalagi kalau sudah terbukti dengan keberadaan Megawati Soekarno Puteri—yang merupakan sebuah kesalahan bangsa ini, yang mempelopori kedudukan wanita di pemerintahan.
Lalu, apa yang salah memangnya kalau wanita saat ini bebas mewujudkan impiannya? Salah seorang dari pembaca pasti akan nyeletuk pertanyaan itu ketika sudah baca sampai paragraf tadi. Well… Sebenarnya tidak ada yang salah kok, malah saya merasa beruntung sebagai wanita yang berada di tengah-tengah fenomena girl power. Tetapi ketika ledakan emansipasi hanya berdasarkan ambisi dan egosentris semata, saya rasa disitulah titik kelemahannya.
Kartini tidak hanya berjuang atas nama emosi belaka terhadap budaya patriarki Jawa, namun ia memiliki pandangannya sendiri mengenai peran perempuan di dunia ini. Bagi seorang Kartini, peran seorang wanita sangatlah vital, terutama peran wanita sebagai pendidik. Kata ‘pendidik’ disini tidaklah merujuk pada guru-guru di sekolah atau juga dosen yang hanya tahu ‘mengajar’. Apa yang dimaksud Kartini adalah, seorang ibu yang mampu mendidik anak-anaknya. Di dalam sebuah surat yang ditujukannya kepada R.M Abendanon, Kartini menulis;
“Dari perempuan lah manusia itu pertama-tama menerima pendidikan. Di pangkuan perempuan lah seseorang mulai belajar merasa, berpikir, dan berkata-kata.”
Dari kutipan itu, Kartini jelas menyampaikan pesannya bahwa para gadis haruslah mempersiapkan dirinya untuk menjadi wanita cerdas yang dapat menciptakan sebuah generasi yang hebat. Para calon ibu seharusnya memiliki kecerdasan moral, akal, dan estetika. Karena itu pula lah Kartini menyambut dengan gembira dan menyodorkan diri sebagai seorang pendidik ketika R.M Abendanon membuka sekolah yang ditujukan untuk para gadis-gadis bumiputra.
Jadi, saya pribadi sih berpikir kalau sekolah tinggi, dan melakukan apapun yang saya sukai, tidak lain agar saya kelak ‘ngga-akan-jadi-ibu-yang-bego-bego-amat’ . Semua yang sudah dipelajari dan dialami seorang ibu akan menjadi fondasi kehidupan anak-anaknya. Nah bagi saya di situlah letak girl power yang sesungguhnya. Malu atuh kalau di luar sana si perempuan begitu cemerlang sementara dirumah anak-anaknya dididik baby sitternya, atau saudaranya. Iya gak sih? Kalau saya mah malu.
“Dan siapakah yang lebih banyak berusaha memajukan kesejahteraan budi itu, siapakah yang dapat mempertinggi derajat budi manusia, ialah wanita, ibu… karena haribaan ibu, itulah manusia mendapatkan didikannya yang mula-mula sekali.” – Kartini 1879-1904
Teks oleh: ZSA