Jas Merah! Kepergian Sang Tokoh Revolusioner, Tan Malaka.
Lahir di Nagari Pandam Gadang, Suliki (sekarang Kabupaten Padang) Sumatera Barat pada tahun 1897 dengan nama Sutan Ibrahim, pria ini lalu bergelar Datuk Pamuncak saat bersekolah di Kweekschool—salah satu sekolah keguruan yang didirikan oleh pemerintah kolonial. Sejak itulah dia mulai dikenal dengan nama Datuk Tan Malaka, yang diambil dari almarhum kakeknya.
Tan Malaka kecil kerap aktif dalam Padepokan Silat Gadang, dan kegiatan mengaji di masjid sekitaran rumahnya. Di kemudian hari, gairahnya yang besar akan pengetahuan mendorongnya untuk berlayar ke Nederland. Tercampakan dari tanah adat adalah sebuah konsekuensi besar yang harus ditanggungnya, Tan sempat tidak didukung oleh warga desanya. Walau begitu restu orang tua, keluarga, dan bantuan dana dari Horensma, salah satu guru Tan di Kweekschool membuat Tan membulatkan tekadnya untuk meneruskan pendidikannya di Rijkskweekschool Nederland. Ayahnya, Sutan Rasyad percaya bahwa anak lelakinya akan membawa perubahan besar dunia di masa mendatang.
Di negeri penjajah ia hidup fakir dan mengalami diskriminasi rasial karena kulitnya yang cokelat. Tan juga harus tinggal di rumah kos kawasan buruh karena biaya tinggalnya yang murah. Semasa kuliahnya, Tan berteman dengan beberapa buruh dan tokoh pergerakan sosialis di Nederland. Hal ini membuatnya berkenalan dengan Marxisme dan Leninisme yang kerap kali menjadi bahan diskusi teman-teman buruhnya tentang Revolusi Rusia yang sedang gencar diberitakan oleh surat kabar disana. Sejak itu, ia mulai menulis artikel mengenai anti-kapitalisme dan anti-imperialisme dalam mendukung kaum buruh di Nederland, sehingga ia pun dikenal oleh beberapa tokoh pergerakan dan pemikir dengan nama pena “Tan Malaka”.
Suatu hari, ia pernah memimpin sebuah pergerakan buruh pelayaran yang menyebabkannya ditangkap dan dibuang kembali ke Indonesia karena sosok Tan dianggap sebagai ancaman besar bagi Nederland. Tidak jauh berbeda seperti saat ia berada disana, di Indonesia pun seringkali ia dijebloskan ke penjara karena tuduhan makar terhadap pemerintah kolonial. Salah satu penjara yang pernah menjadi tempatnya mendekam adalah Penjara Banceuy di Bandung.
Tan lalu mendirikan sekolah rakyat yang bekerja sama dengan Sarekat Islam (SI). Sekolah ini terdiri dari beberapa cabang di Batavia, Bandung, Yogyakarta dan Semarang. Sembari mengajar di beberapa sekolah rakyat, ia tidak pernah berhenti menulis guna menggairahkan semangat revolusioner para kaum buruh dan tani dengan nama samarannya. Menurutnya, kerja rodi adalah kebijakan tak beradab yang anehnya justru dilakukan oleh bangsa yang mengaku beradab. Hal ini membuat dirinya semakin terancam dan kembali menjalani hidup terasing di dalam jeruji besi.
Salah satu tulisan yang menginspirasi bapak proklamator Ir. Soekarno adalah “Aksi Massa” yang ditulis Tan Malaka saat berada di Singapura pada tahun 1926. Saat mendirikan Partai Nasional Indonesia (PNI) Bung Karno mengambil banyak pelajaran yang didapat dari buku “Aksi Massa”. Buku ini juga menginspirasi seorang W.R. Supratman dalam menciptakan lagu kebangsaan Indonesia Raya.
Mungkin kalian tidak akan pernah menemukan nama Tan Malaka saat masih duduk di bangku sekolah. Ini dikarenakan, pada masa rezim orde baru terjadi penyimpangan sejarah yang menyebabkan tokoh-tokoh pahlawan dari haluan kiri terlupakan. Sementara itu, Presiden Soekarno pernah menetapkan Tan Malaka sebagai pahlawan nasional berdasarkan Keputusan Presiden No. 53 Tahun 1963 pada tanggal 23 Maret. Tan yang mengenakan topi caping dan celana pendek juga pernah terlihat berdampingan bersama Bung Karno pada rapat besar yang dilakukan sebulan pasca kemerdekaan Indonesia di lapangan IKADA.
21 Februari 1949 merupakan hari yang naas dalam sejarah negeri ini, Tan Malaka tewas dieksekusi oleh tangan bangsanya sendiri di Kediri, Jawa Timur. Atas perintah letnan dua Sukotjo yang didasari Surat Perintah Panglima Daerah Militer Brawijaya Soengkono, beserta Komandan Brigade Letkol Soerahmat, ia pun dijatuhi hukuman mati. Pihak militer menilai seruan Tan Malaka begitu membahayakan stabilitas negara. Hal ini sangat tidak masuk akal, karena ia merupakan sosok yang dekat dengan tokoh-tokoh revolusioner di Indonesia dan menjadi inspirasi tersendiri bagi mereka.
Sampai saat ini, pemerintah tetap tutup mata dan telinga perihal ketidakjelasan eksekusi mati Tan Malaka. Bahkan hampir semua sekolah menolak untuk mengingat atau menyebutkan namanya dalam mata pelajaran sejarah. Karena itulah, kita harus mengetahui dan menghargai jasa pahlawan-pahlawan yang terlupakan atau bahkan sengaja dilupakan oleh rezim busuk di negeri ini. Bapak Proklamator kita pernah berucap, bahwa bangsa yang besar adalah bangsa yang menghormati jasa pahlawannya.
Sumber: Buku “TAN” oleh Hendri Teja.
Teks oleh: Rizky Mardiansyah