Kesaksianku

 

(doc. google)

 

Jika kalian bertanya siapa yang telah hidup cukup lama dan menjadi saksi bisu segala fenomena di bumi, jawabannya adalah Aku. Begitu banyak versi yang menceritakan kelahiranku ke bumi ini. Ada yang berkata aku lahir di daratan China. Namun, kebanyakan orang  mempercayai aku lahir dan tumbuh dari sebuah bangsa yang sangat ditakuti pada zaman itu,  Bangsa Romawi. Sejak kelahiranku, aku dinobatkan sebagai sang pembawa pesan oleh rajaku. Aku telah merasakan manis-pahit dunia yang diagung-agungkan ini. Perjalanan hidupku pun tak semulus yang aku pikirkan, baru saja mengecap kehidupan dunia, penguasa politik dan para dogmatis kerohanian telah menyiksaku dalam kegelapan runtuhnya Bangsa Romawi, bangsa yang membesarkanku.

Memasuki abad ke-15, adalah awal dari titik bangkitku. Bermula dari daratan Eropa,  menyaksikan langsung  Revolusi Perancis dan ikut serta turun ke lapangan sebagai alat propaganda bagi para revolusioner di masa itu. Lalu,  beberapa puluh tahun kemudian, perkembanganku meluas ke seantero dunia.

Salah satu negara yang aku singgahi adalah Indonesia. Saat itu mereka belum merdeka, masih terkurung dalam kekejaman sistem Kolonialisme  Belanda. Aku datang ke negeri ini, dibawa oleh salah  satu  orang dari Bangsa Belanda.  Seperti sebelum-sebelumnya awal kemunculanku pun diawali dengan penolakan, Vereenigde Oostindische Compagnie  yang berkuasa saat itu merasa terancam dengan kehadiranku. Sampai akhirnya salah satu Gubernur Jenderal yang bernama Van Imhoff mengizinkanku untuk menetap di Indonesia.

Keberadaanku di Indonesia pun menjadi alat propaganda di tengah kesemerawutan yang terjadi antara pihak  Belanda dan rakyat pribumi. Yang satu menggunakanku untuk terus menghasut para pribumi agar terus tunduk di bawah kekuasaannya, sementara yang lainnya menyuarakan tentang kemerdekaan. Selama 350 tahun, aku tak lelah mencatat seluruh perlakuan  Kolonialis Belanda terhadap bangsa ini, begitupun sampai akhirnya kekuasaan jatuh ke tangan Jepang.

Mulanya mereka datang  sebagai teman bagi  Indonesia, lambat-laun kenyatannya  berubah jauh dari apa yang mereka janjikan.  Indonesia kembali terpuruk di bawah penjajahan Jepang, dan aku tetap setia menemani sampai Indonesia menyatakan kemerdekaannya. Dalam benakku, kemerdekaan ini akan juga menjadi kemerdekaanku. Tetapi rupanya aku berharap terlalu muluk, kebebasan tak kunjung aku rasakan.  Begitu banyak pihak yang memanfaatkanku untuk memenuhi kepentingan mereka. Keberadaanku merajalela, hampir setiap organisasi politik merasa memiliku.

Pasca kemerdekaan, aku dan belahan diriku yang berkembang di Indonesia menyatukan diri sebagai Persatuan Wartawan Indonesia (PWI). Di masa selanjutnya pada era  Demokrasi Terpimpin , keberadaanku semakin terasingkan. Otot-ototku semakin kaku digerakan seiring dengan diberlakukannya peraturan-peraturan oleh pihak pemerintah.

Memasuki era Presiden Soeharto, kehidupanku pun semakin terpuruk dan terbelenggu. Masa Orde Baru menjadi mimpi buruk yang paling menakutkan bagiku. Kemunculan SIUPP (Surat Izin Usaha Penerbitan Pers)  semakin mendesak keberadaanku. Fungsiku sebagai pembela rakyat kecil semakin sulit kulakukan.  Sekali saja aku mengkhianati pemerintahan, gerak kerjaku dihentikkan di tengah jalan.  Di bawah tekanan para rezim Orde Baru aku bersama kawananku terus berjuang di bawah kelembaban tanah, melakukan segala cara untuk bertahan hidup dalam peliknya kehidupan di Indonesia.

Gaya kepemimpinan yang otoriter pun tak sejalan dengan logikaku. Menurutku, kebebasan berkehendak adalah hak untuk setiap manusia yang hidup di bumi ini.  Semakin tak kuasa dengan perlakuan pemerintahan Orde Baru, seluruh elemen masyarakat pun turun ke jalanan melawan dan memaksa Soeharto untuk turun dari kursi presiden.  Reformasi pun dikumandangkan, akhirnya  aku dan Masyarakat Indonesia dapat bernafas lega, mencicipi kebebasan yang dijanjikan di zaman yang baru.

Era Reformasi menjadi sebuah titik cerah. Aku dapat bekerja maksimal sebagai media  perantara  pemerintah dan rakyatnya. Berbagai kendala yang telah membuatku  terpasung pun dilepaskan. Aku dapat berkreasi melalui organ penaku, menulis dengan kritis menggunakan kode etik moral yang berlaku.

Kini usia Reformasi telah menginjak 18 tahun, kebebasan pun masih bisa aku rasakan hingga saat ini. Meski bukanlah kebebasan yang aku harapkan, setidaknya pena milikku tak lagi memiliki tuan.  Tak ada lagi pihak yang harus aku puaskan atas apa yang aku tulis. Rakyat dapat menikmati fakta yang sebenar-benarnya atas apa yang terjadi. Walaupun banyak yang menganggapku salah atas apa yang telah kulakukan,  aku akan terus menjalankan tugasku melayani rakyat di negeri ini. Menyampaikan apa yang seharusnya disampaikan.

Teks oleh: Rena

Cerita: Divisi SKO’17

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *