Tahun Pers Menangis, Dahulu dan Kini.
Dewasa ini, perkembangan pers sudah sangat jauh bergeser dari peran pers yang seharusnya. Secara normatif menurut UU Pers No.40 tahun 1999, menyebutkan bahwa fungsi pers adalah sebagai media informasi, pendidikan, hiburan dan kontrol sosial, serta dapat pula berfungsi sebagai lembaga ekonomi. Terlepas dari itu, hakikatnya pers berperan memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui, menegakkan nilai-nilai demokrasi, menegakkan Hak Azasi Manusia (HAM), melakukan pengawasan, kritik, koreksi dan saran-saran yang berkaitan dengan kepentingan umum, juga memperjuangkan keadilan dan kebenaran.
Melihat hal tersebut, sudah tentu pers haruslah berpihak kepada rakyat dan berbicara tentang fakta yang sesungguhnya. Tetapi realita saat ini berkata, hanya sedikit lembaga pers yang benar-benar menjalankan fungsinya sesuai dengan UU Pers No. 40 tahun 1999.
Mirisnya, dunia pers saat ini telah dikuasai oleh kelompok-kelompok elit pemegang saham. Ini adalah hal yang sangat ironis ketika peran pers yang seharusnya membela rakyat dan menguak kebenaran sudah hampir punah. Belum lagi kebebasan pers di Indonesia masih berwujud sebuah mitos dan menyebabkan banyaknya media kecil yang harus gulung tikar. Sekarang adalah era konglomerasi media.
Tak ayal setiap tanggal 9 Februari para pelaku di ranah pers merayakan Hari Pers Nasional. Peringatan tersebut merupakan hari bersejarah bagi mereka. Wartawan dan media berperan penting dalam kemerdekaan bangsa dan negara Indonesia. Oleh sebab itu, peran pers sangat dijunjung tinggi di negara ini. Peranan itu pun dianggap sebagai salah satu pilar demokrasi. Sejarah Pers di Indonesia sendiri telah melewati berbagai fase, dari keikutsertaan dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia, hingga direnggutnya kebebasan pers pada zaman Orde Baru.
Beberapa hari lalu, Dewan Pers mengumumkan bahwa Indonesia memiliki 74 perusahaan media besar. Informasi itu membuat penulis menyimpulkan, bahwa keadaan pers di masa ini tidaklah jauh berbeda dengan zaman Orde Baru. Tak jarang para wartawan kehilangan tempatnya, karena perusahaan dan media tempat ia menuangkan idealismenya tidak diakui oleh Dewan Pers. Rupanya hari Pers Nasional di tahun ini, masihlah menjadi tahun dimana pers menangis.
Teks oleh: Dwi Anugerah S. & Wiwin Fitriyani