Latah Kemerdekaan

(Teks Oleh : Salsabila Putri Pertiwi)

Sejak tahun 1945 hingga kini, bangsa Indonesia senantiasa bersukacita atas momentum proklamasi kemerdekaan yang dikumandangkan oleh Ir. Soekarno. Ornamen warna merah dan putih menghiasi setiap sudut di negeri ini. Pekikan, “Merdeka!” pun jadi julukan yang paling akrab di tanggal 17 Agustus.

Nyanyian Indonesia Raya dan lagu-lagu Nasional disenandungkan sepanjang hari. Di tanggal 17 Agustus lah, sejak 1945 hingga detik ini, masyarakat Indonesia menjadi amat bangga dengan bangsanya dan tinggi harga dirinya.

Upacara bendera yang hikmat digelar di berbagai pusat-pusat pemerintahan, pagelaran bertema perjuangan dipentaskan, konvoi dan parade dilaksanakan (kendati ada beberapa yang malah mengganggu lingkungan sekitar, tapi sudahlah), lomba-lomba diadakan, bendera merah putih dikibarkan di mana-mana.

Semua orang mengikuti upacara pengibaran dan penurunan bendera, menangkap momen penting dengan kamera, memangku Sang pusaka merah-putih di puncak gunung, dasar laut, pinggir pantai, dan kaki-kaki langit.

Pada momen perayaan ini, semua orang menjadi Nasionalis.

Lantas, apa masalahnya?

Sayangnya, hal-hal seperti ini memang tak bisa disaksikan setiap harinya.

Hingga sepekan, sebelum dan sesudah hari kemerdekaan Indonesia diperingati saja, jarang terlihat adanya upacara pengibaran bendera yang begitu tertib, begitu hikmat.

Jarang pula rasanya, menemukan orang-orang yang begitu bangga mengenakan pakaian khas Indonesia(batik, kebaya, dll), kecuali memang perlu atau diharuskan. Sesuatu hal yang langka terdengar sahutan, “merdeka!” yang penuh semangat dan kesungguhan; kalaupun ada, sepertinya hanya bisa terdengar nada guyonan dalam sahutan tersebut.

Maka nampaknya euforia tetaplah euforia; begitu dahsyat saat berlangsung, namun seiring berjalannya waktu akan menghilang dan tak menyisakan kesan. Mungkin bolehlah apabila fenomena ini dijuluki “Latah Kemerdekaan”.

Satu merdeka, semua merdeka. Satu nasionalis, yang lain ikutan. Sesudah itu? Karepmu. Jadi liberalis, monggo. Komunis, monggo (paling-paling dikecam).

Masyarakat yang menjadi Bhinneka Tunggal Ika setiap tanggal 17 Agustus pun kembali menjadi para individualis yang berprinsip, “Kamu ya kamu, aku ya aku.”

Lantas, bagaimana? Apakah kita sudah Nasionalis? Entahlah.

Silahkan menilai sendiri, asal sadar diri. Selamat Hari Merdeka, Indonesia! Semoga pikiran, jiwa, dan raga kita juga benar-benar merdeka. Semoga merdekanya pun tidak hanya ada di tanggal 17 Agustus.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *