“Astaganaga!” Tintin, Wartawan Necis nan Rasis?

(Teks oleh : Zahra Sarah)

Siapa yang tak asing dengan jambul pirang dan penampilan necis sang wartawan fiktif Le Petite Vingtième ini. Jas cokelat, sepatu pantofel mengkilap dan pullover  biru seolah menjadi identitas dirinya di setiap peliputan penuh intrik politik internasional. Yap dialah Tintin, tokoh fiksi yang tercipta pada Januari 1929 oleh seorang seniman Belgia, George Remi atau yang lebih kita kenal dengan sapaan Hergé.

Wartawan dengan stereotipe berbaju lusuh dan terkesan cuek nampaknya tidak berlaku di mata Hergé yang mempunyai seorang ayah pemilik toko pakaian anak laki-laki. Seperti yang telah dituturkan Michael Farr dalam bukunya, Alexis Remi jelas memiliki aturan berpakaian rapi pada anak-anaknya, yang kelak menyebabkan Hergé peduli akan ilustrasi fashion Tintin dan menjadi bagian penting dalam dokumentasinya.

Tidak hanya itu, ciri khas jambul dan fisik Tintin rupanya berasal dari Paul Remi, yang tanpa sadar dilukiskan Hergé dalam petualangan awal Tintin di Tanah Uni Soviet.

“Mungkin saja … Aku cuma bilang selama masa kecilku aku punya teman bermain adik yang lima tahun lebih muda dariku. Aku sering mengamatinya, dia membuatku senang dan kagum. Pastinya itu adalah penjelasan kenapa Tintin meminjam karakter Paul, gerakan dan juga sikapnya.” Ujar Hergé dalam artikel di Le Soir  pada edisi Desember 1940.

Namun siapa yang mengira dibalik penampilan tampan, sikap heroik, dan baik hati ini, Tintin bisa juga menjadi seorang kolonialis rasis di Kongo.

Dalam edisi Tintin di Kongo yang pertama kali terbit pada tahun 1931 di Belgia, Hergé menggambarkan bangsa Kongo sebagai bangsa kulit hitam yang memiliki daya intelektualitas rendah. Hal ini dapat terlihat jelas di dalam adegan ketika orang-orang Kongo memuja-muji Tintin yang dengan cerdik dapat membongkar tipu muslihat Munganga si dukun suku Babaorum.

“Aku suka banget komik Tintin sejak kecil,  tapi kalau dipikir lagi sekarang, kok agak kurang sreg ya di komik edisi kedua. Faktanya Kongo kan dulu jajahan Belgia. Sampai-sampai pernah tuh aku baca berita, kalau di Inggris edisi ini dipindahkan ke rak buku-buku dewasa”  Tutur Marsha(22), Mahasiswa Psikologi Universitas Maranatha penggemar Tintin ketika ditemui di rumahnya pada Kamis (11/08)

Walau begitu, bersama partnernya Kapten Haddock, Wartawan ber-tagline  “Astaganaga!” Ini juga pernah membela komunitas tertindas orang-orang Rom yang dituduh sebagai pelaku barang-barang hilang dalam album Zamrud Castafiore.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *