#EDYOUT, Haruskah?

Pict Source: Google.

 

Oleh: Sandy Mardiansyah.

 

Tahun ke tahun terus bereformasi, namun kepengurusan PSSI masihlah belum “becus” dalam mengurusi sepakbola negeri ini. Cukup sulit menerima kepahitan sepakbola era modern di Indonesia. Banyak faktor yang membuat semua penikmatnya sering menelan kekecewaan. Sudut-sudut teriakan terus menyuarakan perubahan pada tubuh federasi. Namun sayangnya, suara-suara itu hanya sebatasan kicauan jari diatas layar, tak menggoyahkan ruangan yang penuh dengan tawa kepalsuan.

Tim Nasional kita baru saja menangis (lagi) setelah gagal melewati turnamen piala AFF 2018, ini bukan kegagalan pertama Indonesia gugur dalam ajang piala Asia Tenggara tersebut, timnas kita tak pernah juara dalam event ini, prestasi terbaik dicapai hanya sebagai runner-up beberapa kali. Miris bukan? Jika negara Asia lain sudah berkutat dengan kompetisi level Asia di atasnya (seperti Thailand, Vietnam ataupun Singapore) sepakbola Indonesia masih mencari sosok federasi yang sehat katakanlah, masyarakat kita tak buta melihat kegagalan periode PSSI saat ini yang tidak menyiapkan secara matang Tim Nasional senior.

Tak pernah malu kah kita dengan cabang olahraga lain di negeri ini? Seperti PBSI yang sukses membawa indonesia berada di peringkat 4 tim terbaik dunia badminton (bulu tangkis). Jelas, mereka mempunyai prestasi karena diurusi oleh federasi yang paham akan bidangnya, ruangannya pun diisi oleh legenda-legenda pebulutangkis seperti; Susi Susanti.

Tapi sayangnya pengurus PSSI tak pernah diurus oleh para legenda sepakbola nasionalnya, padahal banyak sekali potensi lokal para mantan pemain Tim Nasional kita yang paham betul akan kondisI sepakbola disini. Macam Firman Utina, Bima Sakti atau Kurniawan Dwi Yulianto.  lalu, ada kepentingan apakah di tubuh pengurus PSSI hingga tak pernah dihuni oleh para mantan atletnya? Seperti bermain dalam lingkaran per”judi”an orang-orang berharta, Indonesia tidak boleh lepas dari para orang-orang berkepentingan.

Bahkan kita tahu, ketua umum PSSI sekarang sudah tak loyal lagi dengan satu jabatannya, beliau turut serta bertanggung jawab atas masyarakat Sumatera Utara yang memilihnya sebagai Gubernur. Pak Edy Rahmayadi bukanlah sosok yang hadir dari kalangan sepakbola, ia hanya seorang tembusan dari barak militer yang dipilih oleh para Exco PSSI yang mendapat amanah untuk meneruskan dari kursi jabatan sebelumnya yakni pak Johar Arifin, setelah Indonesia dikenai hukuman oleh FIFA dalam bentuk pembekuan beberapa tahun yang lalu.

Masih banyak pula pengamat sepakbola di Indonesia yang berkompeten melihat situsasi sepakbola disini, bahkan sekelas bung Towel (Tommy Willy) pernah mengatakan “ iklim sepakbola kita hanya akan terus berjalan disini, jika terus dihuni oleh orang-orang yang tak paham betul sepakbola”.

Mau sampai kapan negara kita hanya berjalan di tempat? PSSI harus membuat Tim Nasional level junior-senior harum di mata Asia (Jika bisa ya dunia), Jangan hanya sukses menyelenggarakan event-event nya, “karena kalian terbentuk bukan menjadi tim EO (Event organizer) tapi menjadi pengurus yang berbakti setulus hati pada negeri”.

PSSI? REVOLUSI!

 

Editor: Rizky Mardiyansyah.