Menyikapi Politisasi Berkedok Pendidikan
Oleh: Fachrul Kemal.
Kampus sebagai lembaga pendidikan harus terbebas dari kegiatan politik praktis, sesuai dengan Pasal 86 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilu yang berisi terkait larangan kampanye yang dilakukan di institusi pendidikan. Termasuk, di antaranya dengan mendatangkan pejabat teras partai politik untuk memberikan ‘ceramah umum’ di kampus. Terlebih, pada tahun politik ini ada sejumlah Perguruan Tinggi, khususnya swasta, yang memanfaatkan momen untuk pencarian dana. Salah satunya bisa berasal dari partai politik.
Adanya dalih pembelajaran politik dengan kehadiran pejabat parpol di kampus juga tidak bisa diterima. Pasalnya, kegiatan pembelajaran politik bisa dilakukan Komisi Pemilihan Umum (KPU), bukan parpol.
Lantas jika kampus harus terbebas dari kepentingan politik, bolehkah politik masuk ke dalam kampus? Menurut saya, politik masuk kampus itu sah dan diperbolehkan. Yang tidak boleh adalah memihak. Karena kampus harus membiarkan para mahasiswa memilih atas dasar kesadaran politik mereka, bukan karena digiring untuk memilih salah satu calon.
Idealnya, kampus-kampus di negeri ini harus menjunjung tinggi nilai-nilai kebenaran dan tidak menunjukan keberpihakannya kepada salah satu kekuatan politik. Seperti yang dikatakan oleh Edward Said, “Seorang intelektual harus mengatakan apa yang dianggapnya benar, entah sesuai atau tidak dengan pikiran-pikiran pihak penguasa.”
Mengapa kampus dan mahasiswa?
Kampus sebagai tempat lahirnya generasi intelektual masa depan, berpengaruh besar terhadap pembangunan manusia yang berkualitas, dan kompeten di bidangnya. Selain itu, kampus juga merupakan tempat pertaruhan ideologi dan kaderisasi, sehingga adanya gerak politik di kampus adalah sebuah keniscayaan. Karena hal ini berkenaan dengan ideologisasi dan pendidikan politik.
Sebagai ruang industri pemikiran, sekaligus tempat yang paling teruji untuk mengukur kompetensi politik, tidak heran jika terjadi pertaruhan ideologi dan usaha hegemoni sebagai upaya untuk memperebutkan pengaruh politik sekaligus pembentuk stereotip gerakan mahasiswa yang diinginkan oleh kelompok tertentu.
Mahasiswa adalah generasi penerus masa depan, namun terkadang politik yang ada di dalam kehidupan kampus berdampak negatif* seperti terpecahnya mahasiswa menjadi beberapa kubu, jika politik yang ada di kampus dalam hal ini terdapat campur tangan dari pihak lain termasuk.
Di sisi lain, politik di dalam kampus kerap disalahpahami sebagai wujud politisasi kampus (politik praktis), padahal kenyataannya politik kampus adalah lawan sekaligus oposisi dari politik praktis. Tidak jarang hal ini berdampak kultural bagi sebagian besar mahasiswa dalam memandang politik kampus. Dinilai sebagai gerakan pragmatis yang bergerak hanya untuk mendapatkan posisi-posisi strategis tertentu di lingkungan kampus. Di satu pihak, kelompok gerakan disebut pragmatis; di lain pihak, kelompok “pencela” disebut apatis. Pada akhirnya tidak ada titik temu sinergi antar keduanya.
Aktualisasi, internalisasi, dan sinisme.
Mahasiswa sebagai minoritas yang kreatif memiliki segudang ide dan gagasan segar dalam menyikapi persoalan yang dihadapi masyarakat kita saat ini. Sehingga perlu adanya saluran untuk mengaktualisasikan diri. Jiwa-jiwa muda yang hidup penuh kepedulian dan gagasan sudah selayaknya dieksistensikan agar tidak mati dalam pusaran pragmatisme. Keberadan organisasi mahasiswa di lingkungan internal dan eksternal kampus memberikan ruang dialektika sekaligus panggung unjuk bekerja. Dengan demikian kehidupan kampus akan semakin dinamis dan progresif lewat kerja-kerja yang intelek dan bermoral oleh mahasiswa.
Melalui politik kampus mahasiswa belajar tentang bagaimana bersandingan langsung dengan masyarakat. Keberadaan politik kampus bermanfaat secara luas dalam kehidupan masyarakat, misalnya dengan turut mengawal kebijakan-kebijakan pemerintah dan advokasi masyarakat yang dilakukan dengan aksi-aksi sosial, aksi dialogis, demonstrasi, aksi menulis, serta agenda-agenda lainnya.
Selain itu, politik kampus menjadi saluran internalisasi nilai-nilai kejujuran, tanggungjawab, kepedulian, dan amanah. Dengan moralnya, mahasiswa berperan serta dalam membangun keshalihan sosial. Terlebih jika kita melihat kondisi perpolitikan di tanah air akhir-akhir ini, semakin terombang ambing dalam pusaran korupsi dan manipulasi. Politik kampus dapat menjadi antitesa bagi kondisi buruk tersebut.
Sebagai antitesa atas kondisi perpolitikan saat ini, intelektual dan moral yang teraktualiasi dan terinternalisasi, secara otomatis akan menjawab sinisme-sinisme yang beredar dalam alam pikiran sebagian besar mahasiswa. Sinisme adalah pandangan meremehkan terhadap mahasiswa – aktivis – pandangan ini terbentuk dari beragam konstruksi pemikiran dan latar belakang. Upaya inilah pada akhirnya sedikit banyak melerai stigma sinis terhadap aktivis dan politik kampus.
Setelah melihat keadaan yang tengah terjadi, semua pilihan tetaplah ada di tangan anda.
Editor: Rizky Mardiyansyah.