Apa Itu Harapan?
Oleh: Nabilla Anasty Fahzaria
Satu hari dalam hidup saya, teriakan gaduh anak-anak menyambut saya di Kampung Cukul, Desa Sukaluyu, Kabupaten Bandung. Begitu semarak dan menggeliat. Matahari mulai merangkak naik, juga histeria mereka yang tercampur oleh kebingungan. Mungkin mereka bertanya-tanya dalam hati atau berbisik pada kawan di sampingnya, “siapa mereka?”, “dari mana mereka berasal?”, atau barangkali “mau apa mereka kemari?” dan pertanyaan-pertanyaan semacamnya.
Saya tidak tahu persis apa tujuan saya kemari. Yang jelas, saya mencari ketenangan hidup sekaligus self healing. Egois, bukan?
Tak pernah terpikirkan sebelumnya saya akan mendarat di lapang hijau yang luas dan matahari pagi yang mulai terik seperti ini dikelilingi oleh hamparan perkebunan teh. Udara dingin dan kabut perlahan-lahan sirna dan tergantikan oleh langit biru dan terik yang mengucurkan peluh. Kami bernyanyi, bermain, dan belajar. Tepuk ayam, tepuk nyamuk, dan tepuk motor. Semua energi kami kerahkan untuk kesenangan anak-anak. Kami memberitahu penjelasan tentang profesi-profesi yang bisa mereka raih suatu saat nanti. Tidak melulu hanya ingin menjadi polisi, tentara, atau dokter. Anak-anak diperkenalkan oleh profesi guru, arsitek, pilot, masinis, dan lain sebagainya.
Selanjutnya, saya mengasuh tiga anak bernama Insani, Sabila, dan Reva. Ketiga-tiganya mempunyai cita-cita yang sama, yaitu menjadi seorang dokter. Saya telah memberitahu mereka bahwa mereka bisa menjadi guru ataupun Polisi Wanita (Polwan). Namun, mereka tetap keukeuh dengan pendirian mereka untuk menjadi seorang dokter.
“Bisakah kalian tulis di kertas milik kalian, apa harapan kalian ketika telah menjadi dokter?” tanyaku dengan senyum dan sembari membantu mereka menulis huruf demi huruf.
Mereka saling bertatapan dan kemudian menatap saya dengan begitu polosnya, “Kak, harapan itu apa?”
Saya membeku untuk beberapa saat. Mereka tidak tahu apa itu definisi harapan. Mereka tidaklah tahu bahwa apa-apa yang mereka inginkan selama ini adalah harapan. Lantas, harus mulai dari manakah saya menjelaskan sekelumit tentang harapan?
“Harapan itu adalah sesuatu yang kalian inginkan untuk terwujud,” saya mencoba menjabarkannya diiringi contoh-contoh kecil. Akhirnya mereka menuliskan sendiri bahwa harapan mereka setelah menjadi dokter ialah bisa mengobati orang tua ketika orang tua mereka jatuh sakit.
Dari pertanyaan menohok yang keluar dari bibir anak-anak usia sembilan tahun itu, kau dapatkan perenungan yang mendalam. Tentang apa itu harapan. Tentang apa itu hidup. Bagaimana caranya meniru kebahagiaan mereka. Bagaimana caranya bercanda tanpa harus memikirkan apakah candaan yang kita lontarkan itu lucu atau tidak. Bagaimana menjalani segala sesuatunya dengan santai dan sederhana. Ketika semua hal itu terwujud, mungkin saja kita para remaja-dewasa yang tengah menghadapi berbagai kesulitan akan ingat bahwa dulu kita pernah berbahagia lebih dari apa pun. Kita pernah kecil. Dan proses bertumbuhnya kita menjadi manusia seutuhnya yang berpijak di dunia ini bermula ketika pikiran kita masih sesederhana itu.
Di balik setiap fenomena, pastilah ada hal kontradiktif. Mari kita soroti dari segi pendidikan. Pendidikan untuk anak-anak adalah hal krusial. Pendidikan awal yang diterapkan kepada mereka ibaratkan sebuah pondasi yang akan membentuk kepribadian mereka menuju pribadi yang dewasa. Entah itu pendidikan secara formal maupun non-formal. Mengerikan sekali melihat anak-anak terpencil dibiarkan merokok oleh orang tuanya sendiri (saya melihatnya dengan mata kepala saya sendiri). Meskipun sinyal ponsel tidak hinggap di daerah mereka, tetapi mereka mendapatkan pancaran sinyal televisi. Sudah jelas, poin utamanya adalah televisilah yang paling berpengaruh terhadap pola dan tingkah perilaku anak-anak terpencil dan seolah menjadikan pedoman dalam berlagak sehari-hari.
Sexual harassment di kalangan anak-anak daerah terpencil adalah hal lain yang patut disoroti. Saya melihatnya kembali dan membuat hati saya ciut. Mengerikan! Begitu mengerikan! Begitu tidak jelasnya batasan pergaulan antara anak perempuan maupun laki-laki membuka celah yang lebar terhadap pelecehan dan kekerasaan seksual baik melalui tindakan verbal maupun non-verbal. Yang lebih menyayat hati ialah perbuatan tersebut dianggap sebagai hal yang biasa. Penyimpangan yang tengah dimulai sejak kanak-kanak ini memicu angka pernikahan dini yang sangat tinggi di daerah terpencil serta didukung oleh angka perceraian yang tinggi pula. Saling berkaitan, bukan?
Lantas, hendak menyalahkan siapa jika fenomena-fenomena menyedihkan di atas terjadi pada bibit penerus bangsa? Orang tua? Guru di sekolah? Pemerintah? Tak usah basa-basi, di sini yang dibutuhkan adalah edukasi dan penerapannya dari berbagai elemen. Orang tua di desa berbeda dengan di kota yang mayoritas berpendidikan. Guru sekolah di desa berbeda kompetensinya dengan guru sekolah di kota. Pemerintah daerah pun tidak dapat maksimal dalam melaksanakan fungsi otonomi daerahnya karena akses alam yang sulit ataukah terlalu sibuk mengurusi infrastruktur daerah sehingga melupakan hal mendesak ini.
Saya tatap anak-anak yang mengelilingi saya di tanah lapang hijau itu, “Jangan kehilangan harapan, ya? Harapan-harapanmu akan terwujud. Bersabarlah. Semoga para tikus yang memakan uang segera mati kekenyangan. Semoga alam yang indah ini membayar segalanya.”
Sejuknya alam dan hamparan permadani hijau itu seolah mengamini doa saya, seorang mahasiswi dari kota semi metropolitan yang berlari sejenak dari kepenatan kehidupan sosial yang penuh hiruk pikuk dan kebisingan.
Editor: Rizky Mardiyansyah