Pandangan Sinis Terhadap Toleransi
Oleh: Ade Rosman.
Toleransi, sepenggal kata yang telah kita pahami dan pelajari sedari kita menginjak bangku sekolah dasar. Menanamkan pada diri bahwa keberagaman bukanlah suatu racun yang perlahan menggerogoti latar belakang kita, mengikis jati diri kita, namun sebagai suatu yang menyadarkan bahwa keberagaman merupakan satu elemen pelengkap kehidupan, begitulah kira-kira suatu realitas yang dicoba dideklarasikan pada hari ulang tahun ke-50 Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB), 16 November 1995 silam, saat negara-negara anggota The United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO) mengadopsi sebuah deklarasi Prinsip-Prinsip Toleransi, dan dicetuskan sebagai Hari Toleransi Internasional.
Namun, belakangan ini mungkin para pencetus Hari Toleransi Internasional tertawa bahkan mungkin kecewa dengan maraknya kasus intoleransi keberagamaan. Kasus-kasus tersebut seperti sudah mempunyai agendanya tersendiri, terencana, bahkan terikat dengan kepentingan-kepentingan lainnya. Seperti misalnya, kita bisa dengan mudah menyimpulkan bahwa kasus-kasus yang menyangkut masalah intoleransi tersebut akan muncul ketika sudah mendekati hajatan besar politik di negeri ini.
Permasalahan yang muncul kerap kali berhubungan dengan perbedaan keyakinan, kurang selarasnya antara ajaran A dengan B misalnya, padahal pada dasarnya keyakinan bukanlah suatu hal yang layak untuk diperdebatkan. Keyakinan terlalu tabu bila harus diperdebatkan, terlebih bila dikemas dengan emosi, diucapkan secara meledak-ledak, dengan argumen bahwa keyakinannya benar sedangkan yang lain salah.
Apakah kita akan terus melanjutkan budaya intoleran; dengan menggunakan pikiran-pikiran tertutup untuk menyerang kelompok yang berbeda pemahaman mengenai keyakinan? Sudah cukup rasanya, jangan menjadikan hal seperti ini terus membudaya. Agama yang pada dasarnya menuntun manusia kepada kebaikan tidak selayaknya diperdebatkan.
“Agama melarang adanya perpecahan, bukan perbedaan”
Sebuah kutipan kata dari Gus Dur tersebut cukup relevan untuk menutup tulisan saya mengenai keresahan sebagian orang terkait berbagai permasalahan perbedaan pandangan belakangan ini.
Editor: Rizky Mardiyansyah.