LGBT, Musik, Gempa Bumi, dan Narasi Cocoklogi

Oleh: Zahra Sarah.

(Jurnalistik 2014).

 

Kesedihan dan kesusahan tidak pernah memandang apa agamamu, apa yang telah kamu lakukan dan Tuhan seperti apakah yang kamu yakini. Di bumi ini tidak ada hal semacam ‘azab’, yang ada hanya bencana alam yang terjadi karena bumi sudah semakin tua dan manusia memang ditakdirkan untuk berevolusi melalui kematian fisik. Entah itu karena kecelakaan seperti bencana alam, bunuh diri, ataupun kematian alami.

Tuhan memberimu sebuah otak dan akal sehingga dapat digunakan untuk hal-hal yang bermakna setidaknya untuk dirimu sendiri. Namun, kamu begitu sibuk menghakimi perkara pilihan hidup orang lain, yang padahal tidak akan merugikanmu. Ketika itu terjadi; otakmu pun mulai menciptakan sebuah delusi di mana mereka yang melakukan perbuatan yang tidak kamu sukai, harus menerima sebuah ganjaran berupa azab. Sialnya sang azab yang datang, tidak pandang bulu. Kamu pun ketakutan, dan memikirkan sebuah jalan keluar agar azab tak datang menghampiri. Karena biang keroknya menurutmu adalah ‘kelompok-kelompok’ yang tidak kamu sukai, maka kamu merasa ‘kelompok-kelompok’ tersebut tidak seharusnya ada di bumi ini.

Kamu pun menjadi sangat suka mengkambing-hitamkan mereka atas segala kesialan yang terjadi. Tidak hanya berlanjut sampai di sana akalmu rusak karena kebencianmu, tetapi kamu juga mulai berpikir; jika bumi hanya dihuni orang-orang sepertimu yang katanya lebih baik dari sekelompok orang-orang yang kamu benci, maka di bumi ini tidak akan pernah ada bencana alam.

Kamu lalu berwara-wiri di media sosial; “LGBT semakin marak, gempa bumi pun semakin sering terjadi.”  Atau “Musik adalah salah satu penyebab azab, menggelar charity untuk bencana lewat pertunjukan musik= nihil.”  Narasi cocoklogi seperti itu pun santer terjadi sebagai delusi yang masif.

Faktanya jauh sebelum manusia ada, berkali-kali bumi sudah pernah memuntahkan lahar pijarnya dengan dahsyat, dan menggoncang seisi permukaannya hingga laut atau danau menjadi daratan yang sekarang kita pijak.

Kebetulan, manusia belum ada di muka bumi pada masa itu. Sehingga tidak ada yang dikambing-hitamkan atas aktivitas bumi yang terjadi.

(Atau mungkin pada saat itu, Tuhan sedang murka pada sepasang dinosaurus yang berzinah?)

Selain itu, secara letak geografis Indonesia berada di kawasan ring of fires, di mana gunung-gunung merapi aktif saling terhubung satu sama lain dari berbagai negara. Tidak hanya itu, Indonesia juga merupakan area pertemuan tiga lempeng benua yang tentunya terus bergerak dan terdapat banyak sesar lokal yang terletak di masing-masing daerah.

Hal-hal seperti itulah yang menyebabkan sebuah kawasan menjadi rawan terjadi gempa yang mengakibatkan bencana untuk umat manusia. Namun walaupun fakta-fakta ini tersaji, kamu tetap keukeuh berkacak pinggang dan menyalahkan orang-orang yang kebetulan tidak sama, tidak seiman, tidak satu pandangan dengan dirimu sebagai penyebab sebuah bencana. Sampai di paragraf ini kamu pun menyela semua pernyataan yang ditulis di paragraf-paragraf sebelumnya. Kamu berkoar tentang kisah kaum Nabi Luth yang konon doyan kimpoi, menyukai sesama jenis, lalu diturunkanlah hukuman berupa bencana alam untuk membinasakan mereka semua.

Nah Folklore dan Cocoklogi, merupakan dua hal yang tidak bisa dipisahkan dari sejarah umat manusia. Pengendalian norma agar manusia menjadi individu yang beradab dan berakal-budi, telah dilakukan para pendahulu sejak zaman dulu dengan berbagai tujuan. Walau bobotnya tak sama, namun kisah kaum Nabi Luth tak jauh berbeda dengan nasehat kuno dari orang tua kita; “Jangan duduk di depan pintu, bakal susah jodoh.”  Yang artinya, jika kita duduk di depan pintu akan menghalangi orang-orang yang hendak lewat. Begitu pun kisah kaum Nabi Luth, seseorang yang menuliskan ceritanya mungkin sedang gundah tentang fenomena yang kala itu sedang terjadi. Ia lalu berpikir jika manusia dibiarkan bebas menyukai sesama jenis, fungsi manusia sebagai makhluk reproduksi pun terhambat, lalu manusia akan menemui kepunahannya sebelum menginjak abad-abad selanjutnya. Entah di sebuah tempat seperti apa bencana terjadi, ia pun mengkorelasikan kejadian alam dengan perilaku manusia yang meresahkannya sebagai murka Tuhan. Karena pada dasarnya manusia adalah makhluk yang termotivasi oleh rasa takut, pengendalian norma sosial semacam ini pun berhasil dilakukan lewat folklore yang ia ciptakan

Sayangnya cara ini tidak lagi relevan untuk dilakukan seiring ditemukannya banyak sekali ilmu pengetahuan. Kendali sosial seperti itu kini bisa dilakukan secara ilmiah, dengan berkolaborasinya disiplin-disiplin ilmu. Misalkan, tidak dianjurkannya seks bebas yang alasannya bisa dipahami dengan adanya Penyakit Menular Seksual (PMS) yang terbukti secara medis, atau keberadaan sanksi-sanksi tertulis maupun lisan agar manusia menghindari perbuatan-perbuatan yang konsekuensinya akan merugikan banyak pihak termasuk dirinya sendiri.

Jadi, bila kamu masih perpegang teguh pada folklore di masa laluatau membuat sebuah narasi karangan cocoklogi yang menurutmu benar, satu pertanyaan yang perlu kamu tanyakan terhadap dirimu sendiri adalah; pola pikir  macam apakah yang tertanam di dalam otakmu? Caramu berpikir jelas bukanlah sesuatu yang relevan untuk diterapkan ke dalam kehidupan sehari-hari di era kini. Cocoklogi bencana alam dan perilaku manusia semacam itu, tidak hanya menyakitkan untuk para korban bencana dan kelompok-kelompok tertentu. Tetapi juga untuk siapapun kamu yang mempraktekannya karena turut menyakiti diri sendiri dengan gelapnya kepandiran juga perasaan benci yang merusak.

Biarlah folklore tetap menjadi folklore dari para pendahulu yang akan terus hidup

sebagai sebuah kearifan di dalam sejarah peradaban manusia, namun jangan pernah biarkan pola pikir cocoklogi semakin ngawur dengan narasi mengarang bebas dan tumbuh subur meracuni generasi-genarasi berikutnya.

Note:

Tulisan Ini bukanlah self-reminder. Saya menuliskannya dengan keangkuhan yang sama takarannya dengan keangkuhan mereka ketika bermain menjadi Tuhan, dan menghakimi kelompok manusia tertentu. Saya hanya mengamalkan sebuah pepatah yang berasal dari bangsa Arab; 

“Berbuat sombong kepada orang-orang sombong adalah kebaikan.”

Yap. Kalau saya tidak menyelipkan embel-embel budaya Arab di dalam tulisan ini, rasanya tulisan saya akan dua kali lipat lebih sulit dicerna oleh mayoritas orang di negeri ini.

 

Editor: Rizky Mardiyansyah.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *