Warga Dago Elos Perjuangkan Ruang Hidup Terkait Putusan Peninjauan Kembali (PK) Mahkamah Agung

“Warga Dago Elos, Kota Bandung, menggelar konferensi pers menanggapi putusan Peninjauan Kembali (PK) Mahkamah Agung atas sertifikat hak milik di Balai Rukun Warga (RW), Jalan Dago Elos I, Bandung, Selasa (14/06).” Foto: Hasbi Asdiqi/KMJurnalistik.com

Warga Dago Elos mengadakan Konferensi Pers terkait respon terhadap putusan Mahkamah Agung (MA) yang mengabulkan permintaan Peninjauan Kembali (PK) Nomor 109/PK/Pdt/2022  dari penggugat di Balai Rukun Warga (RW), Jalan Dago Elos I, Bandung, Selasa (14/06). Warga Dago Elos sangat kecewa dengan putusan MA  yang memenangkan pihak penggugat.

Kasus ini berawal dari tiga orang ahli waris warga Belanda yang mengaku sebagai ahli waris dari pemilik lahan yang ditempati oleh warga atas dasar hak barat yang diberikan oleh kerajaan Belanda pada Tahun 1918 ketika masa penjajahan. Tiga ahli waris tersebut yaitu Heri Hermawan Muller, Dodi Rustendi Muller dan Pipin Sandepi Muller yang mengaku turunan dari George Hendrik Muller. George Hendrik Muller adalah seorang warga Jerman yang pernah tinggal di Bandung pada masa kolonial Belanda. Tiga orang yang mengaku sebagai ahli waris dari tanah Dago Elos seluas 6,9 hektar itu mengklaim memiliki sertifikat hak tanah.

Menurut Solihin, Hubungan Masyarakat (Humas) Warga Dago Elos menjelaskan, bahwa ahli waris tersebut dirasa janggal. Karena dirinya sudah tinggal selama 28 tahun dan belum pernah mendengar bahwa ada ahli waris dari tanah Dago Elos tersebut.

“Dia (PT Inti Graha) mengaku sebagai ahli waris padahal  kita ada pegangan Undang-Undang Keputusan Presiden (Kepres) Nomor 32 tahun 1979. Menyatakan bahwa bekas aparat dikembalikan negara, dikuasai negara dan diprioritaskan bagi yang menguasainya fisiknya (warga negara),” tutur Solihin saat diwawancarai KMJurnalistik.com.

Dalam hal ini bahwa Kepres No 32 Tahun 1979 ini lebih jelasnya merupakan undang-undang tentang Pokok-Pokok Kebijaksanaan Dalam Rangka Pemberian Hak Baru Atas Tanah Warga atas Konversi Hak-Hak Barat yang menyatakan

“Tanah Hak Guna, Hak Bangunan dan Hak Pakai asal Konversi hak barat, jangka waktu akan berakhir selambat-lambatnya pada tanggal 24 September 1980, sebagaimana yang dimaksud Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960, pada saat berakhirnya hak yang bersangkutan menjadi tanah yang dikuasai langsung oleh negara.”

Terlihat jelas bahwa dalam Kepres tersebut, bahwa keluarga Muller tidak bisa mengklaim sertifikat hak barat yang jelasnya sudah tidak berlaku sejak tahun 1980. Menurut Muit Pelu dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandung bahwa mereka (pihak penggugat) tidak bisa mengklaim sertifikat hak barat mereka karena menurut kasasi tidak sah dan dibatalkan dengan merujuk pada Undang-Undang pokok Agraria. 

“Mereka (Keluarga Muller) mengklaim bahwa memiliki sertifikat hak barat namun ditolak kasasi dan melihat kepada Undang-Undang Pokok Agraria pada tahun 24 September 1980 itu. Negara melakukan pemberitahuan sudah menjelaskan dalam Undan-Undang, namun keluarga Muller itu tidak pernah mengajukan sertifikat tersebut atau melakukan pengonversian (perubahan). Jadi poin utamanya disitu wargalah yang harusnya menjadi prioritas untuk mendapatkan sertifikatnya,”  ungkap Muit.

Polemik Sertifikat Hak Milik

Terbata-bata dan tak kuasa menahan air mata, Kurniasih mengaku begitu sakit hati mengetahui putusan PK Nomor 109/PK/Pdt/2022 yang menetapkan Heri Hermawan Muller cs berhak atas kepemilikan objek tanah Eihendom Verpoding nomor 3740, 3741, dan 3742 seluas 6,3 hektare. Dalam putusan juga menyebutkan bahwa pihak Heri Muller cs berhak mengajukan permohonan hak untuk sertifikat objek tanah tersebut.

Kini tanah seluas 6,3 hektare yang terbagi dalam tiga verponding: nomor 3740 seluas 5.316 meter persegi, nomor 3741 seluas 13.460 meter persegi, dan nomor 3742 seluas 44.789 meter persegi, yang mana sertifikat tanahnya dikeluarkan oleh Kerajaan Belanda pada 1934, diputuskan sah menjadi milik penggugat. Hal itu dibuktikan dalam pernyataan majelis hakim yang mengakui penyerahan hak tanah dari keluarga Muller ke PT. Dago Inti Graha sah secara hukum.

Mengenai sertifikat tanah warga Dago Elos, Solihin menjelaskan bahwa sebagian warga telah memiliki sertifikat. Namun, sejumlah warga ada yang belum memiliki sertifikat hak milik dan akan terus diperjuangkan oleh warga Dago Elos tersebut.   

“Kita sudah memiliki sertifikat dari tanah seluas 6,9 hektar, dan 2,2 hektar sudah terbit sertifikat 40 bidang dari keseluruhan tanah Dago elos ini. Dan kita sebagai warga akan terus berjuang agar bisa memiliki sertifikat tersebut dan saya akan pertahankan sabubukna (keadilan sampai berpihak kepada warga). Seluruh warga juga akan terus mengawal proses hukum ini.”Sambung Solihin.

Sertifikat Hak milik ini masih diperjuangkan oleh seluruh elemen yang membantu untuk melakukan proses hukumnya. LBH Bandung sendiri telah mengupayakan terkait sertifikat tanah dan kejelasan melalui berbagai proses hukum. LBH Bandung mengatakan akan terus berjuang membantu warga Dago Elos, namun masih belum ada tanggapan dari Badan Pertahanan Nasional (BPN).

Selama proses hukum berlangsung para warga akan siaga di ruang hidup mereka dan akan mendirikan pos setiap titik di Dago Elos untuk mewaspadai atas adanya rencana penggusuran dan hal-hal yang tidak diinginkan.

“Semuanya akan berpadu satu dan akan mempertahankan tanah ini akan mendirikan pos siaga disetiap titik RW Dago Elos  dengan berkolaborasi dari unsur manapun baik warga, wartawan, aliansi dan LBH.” Pungkas Solihin.

Teks oleh: Riko Pinanggit
Editor: Dimas Rachmatsyah