Sampah Visual Tahun Politik
Jajaran Alat Peraga Kampanye (APK) berupa baliho di Jalan Baros, Cimahi (Foto: Dzikrie Tyasmadha/KMJurnalistik.com)
Oleh: Dzikrie Tyasmadha
Tahun politik adalah laga bagi para politisi untuk unjuk gigi, mereka mencekoki masyarakat dengan janji yang mereka buat sendiri. Berbagai media promosi dimanfaatkan secara baik oleh para politisi, dari alunan mars yang ditulis dalam birama dua per empat yang melekat di memori anak-anak hingga kumpulan poster lebay politisi muda yang mencoba masuk ke dunia gen-z zaman sekarang dengan gaya love sign Korea.
Bandung dengan sejuta keindahan dan ceritanya terkadang membuat kita luput akan gumpalan kelabu yang kerap kali hadir dalam kehidupan sehari-hari kita. Namun dekade ini Bandung agaknya menjadi penampungan sisa limbah politik berupa poster-poster calon legislatif (caleg) yang nilai estetikanya terkadang bertolakbelakang dengan lukisan-lukisan yang lebih nyaman dilihat di pinggiran Jalan Braga.
Ya, berbagai ukuran poster yang menampilkan wajah politisi mulai dari bendera, poster A3, hingga baliho berukuran 1,5 x 6 meter kerap terpampang jelas menghiasi sepanjang Jalan Pasteur hingga ujung flyover Pasupati. Dengan warna yang mewakili kubu masing-masing politisi, terkadang membuat sakit mata orang yang melihatnya, belum lagi wajah mereka yang memberi kesan intimidatif pemegang omong kosong.
Menilik kejadian lalu tentang isu sampah yang meningkat di Kota Bandung pada tahun 2023, dengan jumlah sampah plastik mencapai 266,23 ton per hari, mereka dengan asiknya menambah beban sampah yang sulit terurai tersebut. Mereka seolah menganggap itu hanya bagian kecil dari permasalahan lingkungan yang ada, kemudian dengan serentak membuat “iklan” dengan jarak yang tak kurang lebih dari 100 meter.
2023 lalu, Pemerintah Kota (Pemkot) Bandung melalui pernyataan Sekretaris Daerah Kota Bandung, Ema Sumarna, pemasangan reklame telah diatur dalam undang-undang, karena menurutnya sampah visual bisa mengganggu estetika kota. “Kota ini adalah kota desain yang diakui UNESCO. Untuk itu, semua dilakukan by design dan perlu komitmen kuat dari kita untuk bersama-sama menjaga kota ini,” kata Ema, dikutip ANTARA News Jabar. (3/2023).
Namun, nampaknya upaya dari tim satgas dibentuk hanyalah bentuk evaluasi semata. Delapan belas partai politik bukanlah jumlah yang sedikit untuk mereka hadapi olahan limbahnya, terbukti dengan masih banyaknya residu yang dipasang oleh belasan parpol di jalanan Kota Bandung.
Jalan lintas provinsi kerap menjadi sasaran empuk para politisi maupun pengusaha untuk memaparkan produk dan omong kosong mereka. Faktor masifnya penduduk, lokasi yang strategis, dan kepentingan bisnis lah yang menjadi alasan para calon pemangku kekuasaan ini. Hal ini menyebabkan tercekiknya jalanan penghubung antar kota yang luas itu menjadi riungan penuh tatapan para politisi.
Masyarakat tentunya memiliki keresahan yang sama, kepada spam foto imut para caleg yang kerap mengganggu setiap perjalanan mereka. Berbagai Upaya dilakukan oleh para aktivis lingkungan, komunitas, hingga mereka yang tergerak dari hati sendiri untuk “membersihkan” sampah visual tersebut.
Belum lama ini, seniman independen Kota Bandung bernama Riandy Karuniawan merespon maraknya poster caleg yang bertebaran. Ia menutupi wajah para calon politisi di poster mereka dengan karakter ciptaannya disertai tulisan “Glory”, “Gold”, dan “Google” di bagian atas, juga memberi angka pada bagian bawah poster. Namun beberapa media memberitakan poster wheatpaste tersebut sebagai aksi vandalisme, berbeda dengan ribuan poster caleg yang cringe itu.
Jika dipikir-pikir, apakah poster caleg juga sebuah vandalisme? Bentuk perizinan, pajak dan sebagainya, apakah semua dijalankan secara benar? Jarak penempatan antar Alat Peraga Kampanye (APK) dari satu ke yang lain pun seringkali berdekatan. Satu poin yang membedakan antara goresan vandalisme street artist dengan para politisi adalah nilai dan esensi seni didalamnya. Mereka yang membuat vandalisme seperti graffiti, mural, dan lainnya memikirkan konsep kreatif, pesan, dan gerakan yang ingin disampaikan, tak hanya sekedar reklame dengan wajah caleg yang secara proporsi desain lebih mendominasi ketimbang visi misi mereka sendiri.
Bahkan lebih indah lagi, bahwa tidak semua yang media dan pemerhati tata kota sebut sebagai vandalisme itu adalah aksi kriminal yang bersifat korosif dan memperburuk suasana kota. Berbagai warna, bentuk, dan visual sebuah karakter dalam pergerakan yang mereka buat bisa menjadi sebuah dekorasi setiap sudut kota, menjadikanya sudut-sudut itu tempat yang memiliki value didalamnya. Karena tak jarang, coretan liar street artist yang mereka sebut kriminal, malah menjadi daya tarik kota itu sendiri.
Bandung bukan satu-satunya kota yang sepanjang jalannya dipenuhi senyuman manis para politisi, Daerah Istimewa Yogyakarta juga menjadi korban pembabi butaan limbah visual para politisi. Di Kabupaten Sleman tepatnya di wilayah Mlati dan Ngaglik menjadi sasaran empuk para politisi untuk menjadikan daerah yang dikenal akan budaya seni yang kental itu menjadi pameran sampah visual sejak dua tahun lalu.
Pada tahun 2016, Sumbo Tinarbuko, Dosen program studi Desain Komunikasi Visiual Institut Indonesia (ISI) Yogyakarta berpendapat mengenai permasalahan isu sampah visual yang ada di Yogyakarta. Beliau mengatakan kegelisahanya berawal dari disiplin ilmu yang ia tekuni selama lebih dari dua puluh tahun. “Kenapa yang menjadi pemasangan karya yang didesain sedemikian bagusnya itu kemudian efeknya justru malah menjadi negatif, efeknya malah tidak memberikan kebermanfaatan atas pesan yang diberikan, yang terjadi adalah sebaliknya efek kebermanfaatan atau informasinya mungkin hanya 20% yang 80% malah justru menjadi sampah visual,” ujar Sumbo pada sebuah wawancara.
Menurutnya pola penempatan iklan luar ruangan terkesan amburadul dan crowded, dan menganggap bahwa tempat yang berpotensi menjadi macet menjadi tempat yang paling banyak ditaburi iklan luar ruang yang cenderung menjadi sampah visual. Sumbo juga mengklaim bahwa ia bukan anti iklan pada iklan luar ruangan, tetapi ia mengharapkan bagaimana iklan luar ruang menjadi lebih tertata rapi, memberikan informasi dan menjadi bagian dari dekorasi sebuah kota.
Selain mempersempit ruang dan mengganggu visual, pemasangan APK juga tidak mementingkan keamanan pengguna jalan raya. Baru-baru ini viral sebuah video di media sosial yang menampilkan kecelakaan pengendara motor yang dikendarai sepasang kakek-nenek akibat tertimpa bendera baliho partai. Kejadian tersebut terjadi di flyover Kuningan, Jakarta Selatan, pada Kamis (18/1). Ketika diusut di tempat kejadian, ruas jalan tersebut ternyata dipenuhi belasan tiang bendera yang membahayakan pengguna jalan.
Sebelumnya, kecelakaan akibat penempatan APK yang membahayakan juga terjadi di Kebumen, tepatnya di Jalan Raya Kebumen-Banyumas, pada Rabu (10/1). Siswi SMK berusia 18 tahun meninggal dunia setelah motornya tertimpa APK yang roboh akibat tertiup angin. Pasca kejadian tragis tersebut, Kordiv Penanganan Pelanggaran Bawaslu Kebumen, Imam Khamdani menyebut baliho caleg tersebut ternyata tak masuk daftar inventarisir Bawaslu.
Patut disayangkan memang. Baliho, bendera, dan poster yang setiap masa pemilihan selalu muncul seringkali menghasilkan efek yang negatif, dari mulai penempatannya yang mengganggu estetika visual, sampai yang terburuk, APK tersebut justru membahayakan masyarakat.
Tahun politik seharusnya menjadi tahun yang ditunggu oleh masyarakat karena momen ini adalah pembuktian bagi mereka para calon politisi kepada masyarakat bahwasanya mereka pantas dan layak menjadi wakil rakyat yang sama-sama menyelesaikan isu dan permasalahan yang ada. Bukanya malah menambah masalah yang ada dari hal sekecil reklame yang mereka buat terus menerus di setiap kota.
Editor: Fikrazamy Ghifari