Melebur Sedih dan Bahagia di Selatan Jakarta
(Barefood tampil di last show mereka bertajuk Left Untold: A Final Performance by Barefood. Foto: Nazmi Ramadhan/KMJurnalistik.com)
Oleh: Nazmi Ramadhan
First of all, Barefood adalah salah satu band favorit saya yang belum sempat saya tonton dari awal saya menyukai band tersebut. Kilas balik ke tahun 2017, awalnya saya hanya remaja yang sekedar ikut-ikutan mendengarkan Barefood, Bedchamber, Collapse, eleventwelfth; dan macam-macam band independen serupa.
Di hari yang lain kala itu, saya melihat seorang teman yang memakai baju berwarna putih yang cukup lusuh, mungkin bekas dipakai lumayan lama, bergambar seseorang yang sedang meminum susu kemasan. Artwork karya Amenkcoy itu cukup menarik perhatian saya. Lalu saya melontarkan pertanyaan, “baju naon eta? (baju apa itu?)” celetuk saya, dia menjawab “Barefood, nih.”
Setelah percakapan singkat itu, dia memberikan playlist MP3-nya, mengawali langkah saya untuk mulai ‘ngulik’ band-band yang bergenre serupa dengan Barefood. Rasanya, Barefood bagai gerbang utama saya ke wawasan musik yang lebih luas. Shout out untuk Ramdhan Fajar, kawan baik saya semasa SMP (hingga sekarang) yang telah mengenalkan band yang kelak akan saya gandrungi begitu lama. Godspeed.
Barefood dimotori oleh dua orang personil; Ilham Praditto biasa disebut Ditto pada gitar dan vokal, Rachmad Triyadi alias Mamat pada bassist, sementara posisi drum tidak pernah tetap. Di extended play (EP) Sullen, drum diisi oleh Bowo (The Porno), lalu ada Pandu Fuzztoni (Morfem, ZZUF, The Adams) yang kerap kali mengisi posisi drum di beberapa panggungan Barefood.
Mereka merilis EP sebagai pembuka pada tahun 2009 yang menjadi karya pertama Barefood, EP self-titled ini berisikan empat lagu di dalamnya; ‘Deep and Crush’, ‘Hard’, ‘Breath’ dan ‘Truth’. Pada tahun 2013, Barefood kembali merilis EP bertajuk Sullen, yang menjadi salah satu rilisan alternative rock terbaik pada saat itu. Sullen adalah mini album yang padat nan catchy, berisikan lima trek yang kemudian membawa Barefood ke tahap berikutnya dalam perjalanan bermusik mereka.
Lalu pada tahun 2017, akhirnya Barefood merilis satu album penuh debut bertajuk Milkbox. Album berisikan sembilan trek ini sangat ditunggu banyak orang, pasalnya sejak EP kedua lahir, fans sangat menunggu perilisan album penuh mereka. Berselang empat tahun semenjak rilisan terakhir, akhirnya album ini dirilis juga.
Setelah menelurkan banyak karya magis, Barefood hiatus pada kurun waktu empat tahun. Pasca pandemi, mereka sama sekali tidak menggelar atau tampil di konser manapun, begitupun dengan perilisan musik anyar. Kemudian, sekalinya mereka menggelar konser untuk comeback, itu menjadi panggung terakhir mereka. Sedih rasanya.
Kembali lagi ke masa sekarang, saat itu saya sedang berada di kampus. Sekitar jam 4 sore, notifikasi direct message Instagram masuk, teman saya mengirimkan sebuah poster yang membuat saya kaget. Bagaimana tidak? sebuah poster berlatar hijau bergambar Jazzmaster yang berdiri tegak itu mengumumkan bahwa Barefood akan menggelar konser, namun itu adalah konser terakhir mereka. Di bagian atas poster tersebut bertuliskan Left Untold: A Final Performance by Barefood. Tanpa berpikir panjang saya bergegas membeli tiket, meskipun setelahnya di sisa minggu itu, saya tidak bisa keluar rumah karena uang jajan saya dialokasikan untuk membeli tiket tersebut. Saya rasa, itu worth it.
Sebagai salam perpisahan, Barefood menggelar last show mereka di Toba Dream, Jakarta. Band yang lahir pada 2009 itu, harus bubar pada 18 November 2023 di helatan yang diinisiasi oleh kolektif asal Jakarta, Paguyuban Crowd Surf (PCS). PCS sendiri sering membuat gigs yang monumental, seperti last show Tomo bersama Rekah, perilisan album Similar-nya eleventwelfth, hingga comeback-nya Sigmun pada gelaran PCS vol. 4.
Last show Barefood ini juga dirayakan oleh unit-unit independen yang tak kalah ciamik macam Jirapah, eleventwelfth, Sharesprings, sampai Gascoigne, membuat helatan ini semakin spesial. Seketika, tiket habis terjual dalam kurun waktu 48 jam sejak diumumkan pertamakali di Instagram Paguyuban Crowd Surf, antusiasme yang sangat tinggi akan “perpisahan” ini.
Singkat cerita di hari-H, hari itu tidak berlangsung begitu mulus bagi saya. Banyak kendala yang lumayan menyebalkan, di hari yang sama dengan konser Barefood, saya yang merupakan mahasiswa tingkat akhir melupakan adanya ujian pada hari itu, ujian syarat kelulusan saya sebagai mahasiswa tingkat akhir. Sial.
Ditambah, sebagaimana orang luar Jakarta yang mempunyai agenda di Ibu Kota, saya diharuskan berupaya lebih untuk mengejar agenda tersebut, terutama soal disiplin waktu. Saya berangkat menggunakan travel pada jam satu siang, sementara ujian yang saya ikuti di hari itu, masih belum selesai padahal waktu sudah menunjukan pukul setengah satu. Alhasil saya panik. Pada akhirnya, kecintaan saya kepada Barefood membuat saya harus meninggalkan ujian lebih dulu. Saya rasa, itu worth it (lagi).
Tak sampai disitu, kendala yang lain adalah kemacetan. Bandung saat itu lumayan macet, membuat perjalanan saya ke kota tujuan terhambat. Singkat cerita, saya sampai di Jakarta, dan seperti yang sudah diperkirakan, waktu sudah menunjukan sekitar pukul lima mengakibatkan saya tidak sempat menonton Gascoigne dan juga tidak kebagian merch Barefood, baik kaos maupun vinyl. Sial.
Pertunjukan dibuka oleh Gascoigne pada pukul empat sore lalu dilanjut oleh Sharesprings sekitar pukul lima. By the way, penampilan Sharesprings menarik perhatian saya, saat mereka membawakan lagu ‘Here Comes the Past’ dengan visual dokumentasi gigs dan para personil Barefood, membuat suasana menjadi melankolis. Sayangnya antusiasme crowd untuk menonton dua band tersebut terhalang oleh cuaca, karena pada sore itu selatan Jakarta sedang dilanda hujan. Namun rasanya, semesta memang sengaja membuat hari itu semelankolis mungkin.
Selepas maghrib, giliran eleventwelfth naik ke atas panggung. Unit math rock asal Jakarta ini membawakan trek favorit macam ‘your head as my favourite bookstore’ hingga ‘violent precaution (silence awaits)’ dari album self-titled mereka yang dirilis pada tahun 2017, dan dua lagu dari album teranyar bertajuk Similar. Penampilan eleventwelfth membuat crowd terkesima. Dan yang menarik, di pertengahan set mereka, Petir (bassist eleventwelfth) menyampaikan repertoarnya. Ia mengatakan, “kalau gak ada Barefood, gak akan ada kita! (eleventwelfth).” ujarnya. Sebuah bentuk apresiasi tertinggi bagi Barefood.
Setelah paparan math rock selama sejam lamanya, acara berlanjut dengan penampilan Jirapah yang tampil sangat apik dan memukau bagi semua yang hadir di tempat itu. Set dibuka dengan lagu ‘Crowns’, membuat suasana menjadi hening seketika. Setelahnya, ‘I Too was a Teenager’ dimainkan, single yang sangat langka mereka bawakan. Tak luput pula Jirapah membawakan single teranyar mereka bertajuk ‘Kismet’ yang dirilis satu hari sebelumnya. Kemudian pada pertengahan set, Jirapah meng-cover lagu milik Descendents bertajuk ‘Bikeage’ dengan versi mereka sendiri. Jirapah pun menutup set malam itu di hadapan enam ratus penonton dengan trek ‘Bekerja’ dari album Planetarium.
Setelah berbagai rangkaian band pembuka, yang ditunggu akhirnya tiba, Barefood naik ke atas panggung diiringi riuh tepuk tangan penonton. Barefood membawakan semua diskografi mereka, mulai dari mini album pertama hingga album Milkbox. Setlist berdurasi dua jam itu terbagi menjadi tiga sesi yang merangkum sembilan belas trek. Pada last show ini, Barefood dibantu oleh Bagas Encek (ZIP, Tarrrkam, Morgensoll) pada posisi drum, dan Tir Saputra (eleventwelfth) pada gitar.
Dibuka dengan lagu ‘Deep And Crush’, single yang dirilis pada 2009 silam, membuat crowd seketika menjadi “liar”. Di lagu kedua, mereka membawakan “Grown Up”, intro yang dibuka dengan perpaduan ciamik antara bass dan drum. ‘Grown Up’, lagu yang bertemakan persahabatan ini, sama halnya dengan ‘Perfect Colour’, lagu mereka yang juga memungkinkan diinterpretasi bertema demikian. Set berlanjut dengan ‘Soda’, lagu instrumental Barefood yang membuat saya berdecak kagum karena melodi gitarnya yang begitu keren.
Penampilan berlanjut, dan salah satu lagu favorit saya akhirnya dimainkan. Ya, ‘Amalie’. Lagu Barefood yang ‘bucin’ itu, sekaligus lagu yang menutup sesi pertama. Lagu ini, mengingatkan saya kepada si pacar yang tidak mengijinkan saya berangkat ke Jakarta, apalagi siang itu saya “kabur” dari ujian, membuat beliau geram. Maaf ya.
Selepas break, Barefood tak tanggung-tanggung membawakan lagu ‘Milkbox’ dengan lantang dan gagah, penonton seketika sing a long. Kemudian dilanjut dengan lagu ‘Hitam’, lagu pertama barefood yang liriknya berbahasa Indonesia. “Sampai pada waktunya, yang kau bela pun menjauh.” Begitulah sepenggal lirik dari lagu Barefood, ‘Hitam’. Nyatanya, mereka yang ku bela benar-benar menjauh dariku malam itu.
Rasanya setiap detik di konser ini sangat berharga, terlebih di lagu ‘Hitam’ ini, yang sudah saya putar sejak 2017 lalu, dan setelah enam tahun lamanya, saya bisa mendengarkannya secara langsung. ‘Droning’ dibawakan setelah beberapa set dari lagu ‘Hitam’. ‘Droning’ salah satu lagu Barefood yang paling emo, membuat penonton menganggukan kepalanya sambil menatap sepatu masing-masing layaknya menonton band shoegaze.
Saat lagu ‘Sullen’ dimainkan, Uci dari Sharesprings yang merupakan pengisi vokal original lagu itu, turut tampil bersama Barefood. Lucunya, mic yang dipakai Uci mati. Entah mati, entah terlalu kecil suaranya karena tertutup nyanyian crowd, tapi masalah itu tidak terlalu berpengaruh karena penonton tetap bernyanyi bersamanya.
Lagu selanjutnya, ‘Biru’, lagu yang mungkin favorit bagi kebanyakan orang. Di sela-sela lagu ‘Biru’, tak disangka saya meneteskan air mata, karena sejenak, saya melupakan halang rintang hari itu; ujian yang menyebalkan, dikejar jadwal travel, sampai geramnya si pacar, karena malam itu, Barefood membawakan ‘Biru’ tepat di depan mata saya, melebur sedih dan bahagia seketika.
Pada tiga lagu terakhir, Pandu Fuzztoni, anggota additional andalan Barefood, tiba-tiba muncul dan mengambil alih posisi drum yang dimainkan oleh Bagas Encek. Lucunya, ‘Perfect Colour’ dimainkan dua kali atas permintaan penonton pada malam itu. Tak terhitung aksi crowd surf terjadi, menambah kaosnya malam itu. Dito, sang gitaris, seketika melemparkan badannya ke kerumunan penonton, sekaligus mewujudkan crowd surf terakhirnya bersama Barefood.
Tidak terasa akhirnya sudah sampai di penghujung set. Setlist berdurasi dua jam itu terasa sangat singkat. ‘Teenage daydream’ pun dimainkan sebagai lagu terakhir; intro yang ikonik membuat saya spontan menaiki panggung untuk crowd surfing. Aksi crowd surf itu, sekaligus menjadi aksi terakhir saya untuk menutup suka cita dan segala euforia malam itu. Terasa seperti mimpi, namun ‘Teenage Daydream’ adalah lagu terakhir Barefood yang mereka bawakan. Sedih rasanya, namun beruntunglah kita bisa merayakan perpisahan ini. Kelak hari itu akan menjadi hari yang memorable bagi saya, dan ratusan orang lain yang berada di tempat itu. Selamanya.
Editor: Syauqi Kinan & Fikrazamy Ghifari