Ian Curtis, Legasi, dan Paranoia Epileptik Paska-Punk
Ian Curtis (sumber foto: Rob Verhost/Redferns)
[PERINGATAN] Artikel berikut mengandung unsur bunuh diri, perilaku menyakiti diri sendiri, depresi, dan referensi terkait isu mental lainnya yang mungkin akan mengganggu kenyamanan pembaca. Kebijaksanaan pembaca disarankan.
Oleh: Fikrazamy Ghifari
Seperti malam akhir pekan lain, muda-mudi berkumpul, ramai-ramai menghempaskan semua keluh kesah ke udara sembari menghentakan Adidas Gazelle mereka tanpa tanggung di lantai dansa. Kali ini, mixtape karaoke Britpop hasil convert Mp3 YouTube diputar tanpa henti, nomor-nomor wajib macam “Say Something”, “Don’t Look Back In Anger”, hingga “Goodbye Kiss” terdengar sampai parkiran. Di momen mendadak British itu, mereka tiba-tiba menjelma menjadi Gallagher maupun Morrissey tanpa sedikitpun pretensi.
Botol-botol beling bertebaran, hasrat ingin ditabrak bus double decker tak terelakan, hingar-bingar itu kemudian menemukan suasana yang lain ketika “Blue Monday” dimainkan; intro mesin drum ikonik, diikuti bunyi synth dan bass line melodik Peter Hook memaksa tubuh berdansa tak karuan hingga keringat membasahi seperempat parka yang mereka kenakan. Dalam satu malam, mereka mengubah bar kecil di sudut kota itu menjadi versi rip-off Hacienda, mempersilakan siapapun di dalamnya jadi 24 hour party people seketika.
Ya, “Blue Monday” yang magis itu, magnum opus New Order berumur 40 tahun yang nyatanya masih relevan hingga sekarang, terutama bagi mereka penggemar kultur pop dan sepakbola Inggris, serta berbagai macam pernak-perniknya. “Blue Monday” adalah warisan keagungan Hacienda, klub malam di Manchester yang menjadi saksi bisu dimulainya pergerakan musik dansa alternatif Madchester yang digawangi band lokal macam The Stone Roses, James, Happy Mondays, hingga The Charlatans.
Meski kini Hacienda tak lagi ada, “Blue Monday” akan tetap abadi, setidaknya selagi pub atau bar di luar sana masih punya cukup ruang untuk DJ set, speaker, lampu disko, dan aktif menggelar agenda karaoke Britpop di akhir pekan—dan kalaupun itu semua hilang ditelan peradaban—pengaruh“Blue Monday” nyatanya telah tertanam di ranah musik lain, menjadi benchmark band-band elektronik & non elektronik setelahnya seperti Primal Scream, LCD Soundsystem, sampai The Prodigy.
Legasi New Order sebagai unit new wave paling berpengaruh tak hanya ditorehkan melalui capaian trek “Blue Monday” saja yang hingga kini masih tercatat sebagai single 12 inci paling laku sepanjang sejarah, trek synth-pop ikonik lain macam “Regret”, “Temptation”, “True Faith”, sampai “Bizarre Love Triangle” yang paling populer, telah menstandarisasi bentuk musik elektronik di era sekarang, menjadikan seluruh diskografinya trek dansa go-to di klub-klub malam. Namun, naif rasanya jika kita denial akan anggapan bahwa New Order sebenarnya tak lebih dari sebuah suksesor dari entitas lain yang lebih besar; Anda bisa saja tak memedulikan itu, tapi berusaha menafikan adalah hal yang sulit.
Sebelum kuintet tersebut mengukuhkan musiknya ke dunia yang lebih terang, populis, dan penuh gemerlap lantai dansa, empat tahun sebelumnya, tepatnya pada tahun 1976; Bernard Sumner, Peter Hook, Stephen Morris, salah tiga personil New Order, tergabung dalam entitas lain bernama Joy Division; unit post-punk bernuansa gelap, suram, dan depresif; kontradiktif dengan karya-karya ketiganya di New Order. Sekat antara ‘terangnya’ New Order dan ‘kegelapan’ Joy Division itu diciptakan oleh satu orang lain; pemuda sembilan belas tahun asal Macclesfield, yang membayangkan dirinya jelmaan Lou Reed dan Bowie, mengingatkan kita akan hikayat epileptik Dostoevsky. Pemuda itu ialah Ian Curtis.
Ian Curtis dan Joy Division adalah entitas grande itu. Sebelum ledakan gelombang Madchester dengan musik alternatif dansa dan atribut serba baggy, di era 70-an, musik ugal-ugalan punk terlebih dahulu menancapkan benderanya di Manchester. Band-band pionir punk macam The Stooges, The Clash, Sex Pistols, sampai band akamsi Manchester, Buzzcocks, adalah konsumsi musik utama pemuda Inggris kala itu, tak terkecuali Ian, meski ia tak menunjukan dirinya sebagai ‘sebenar-benarnya’ punk seperti kebanyakan pemuda Inggris di era itu; berpakaian t-shirt bersimbol ofensif, blazer dengan pernak-pernik spike, atau mengilhami ideologi anti-monarki.
Ian sedikit berbeda. Ditengah arus punk yang turut ia konsumsi saat itu, Ian justru menemukan jati dirinya di tulisan-tulisan Kafka, Ballard, dan Gogol, mereplikasi tampilan nyentrik-kaotik David Bowie dan Iggy Pop, serta meredam anarkisme punk ke jiwa paling dalam. Ragam referensi itu kemudian dilebur ke dalam entitas Joy Division, menghasilkan nuansa gelap, melankolis, namun cutting-edge dari departemen lirik hingga musik, mentransformasi pakem punk ke level yang lebih ekspansif sekaligus avant-garde dengan istilah paling anyar yang kelak makin populer sampai hari ini; post-punk.
Salford, di tahun 1976, menjadi saksi sejarah terbentuknya Joy Division dan bagaimana empat pemuda di dalamnya—yang masing-masing baru menginjak umur dua puluhan kala itu—tanpa malu meruntuhkan hegemoni Sex Pistols di piramida teratas punk dan memaksa Johnny Rotten menangisi sisa-sisa reruntuhnya. Rasanya, kota kecil itu belum siap dengan apa yang akan datang, karena 3 tahun berselang, album debut monumental berjudul Unknown Pleasures bersampul garis-garis pulsar hasil saduran majalah sains itu lahir; menandakan sepak mula era post-punk dengan Ian Curtis sebagai martir utamanya.
Unknown Pleasures, mahakarya milik Joy Division itu, memulai pergerakan era post-punk dengan sebaik-baiknya. Tak seperti kebanyakan lagu punk yang berkecambah kala itu, album ini sama sekali tak mengandung sentimen politis ataupun suara kemarahan pemuda Inggris terhadap sistem monarki, melainkan tentang Ian Curtis sendiri; tentang kehidupan pribadinya yang memilih menikah di usia 19 tahun, epilepsi, dan depresi yang dideritanya. Ian ‘menelanjangi’ dirinya sendiri di Joy Division, menulis lirik puitis penuh paranoia yang tak berkesudahan dalam bayangan musik punk yang ia gandrungi.
Paranoia itu adalah bentukan dari kepedihan hidupnya. Epilepsi yang ia derita—dan dampak mengerikan yang ia alami karenanya—seringkali ditemukan di lirik-lirik Joy Division. Dalam trek “Disorder”, ia mempertanyakan ‘pleasures’ (kenikmatan) banal yang orang-orang rasakan dalam hidup, namun Ian tak merasakan itu semua. Mungkin karena brain disorder yang ia derita, atau karena obat-obatan anti-epilepsi yang ia konsumsi setiap hari. “I’ve been waiting for a guide to come and take me by the hand / Could these sensations make me feel the pleasures of a normal man?”
Di trek lain, “She’s Lost Control”, Ian menggambarkan bagaimana kengerian epilepsi melalui sudut pandang orang ketiga. Lagu ini tercipta setelah ia menyaksikan sendiri seorang wanita muda penderita epilepsi mengalami kejang tepat di depan matanya. “And she expressed herself in many different ways, until she lost control again / And walked upon the edge of no escape, and laughed, “I’ve lost control”, penggalan lirik tersebut menjelaskan bagaimana pengalaman epileptik penderita epilepsi yang tak punya kontrol atas tubuh mereka sendiri, terutama ketika mereka sedang mengalami episode kejang. In a way, “She’s Lost Control” adalah tentang Ian merefleksikan dirinya; bagaimana ia tak dapat mengontrol fisik dan psikisnya sendiri.
Episode kejang yang Ian alami kerapkali menghambatnya, menguras energi fisik sampai psikisnya. Serangan kejang juga beberapa kali datang ketika ia sedang melakukan penampilan langsung, dan karena itu pula beberapa acara Joy Division harus ditunda dan dibatalkan akibat kambuhnya epilepsi Ian. Penyebabnya mungkin karena kilatan cahaya panggung yang intens, dan aksi panggung Ian sendiri. Memang, aksi panggung Ian itu begitu ikonik; ia berdansa tak karuan, menggerakan tangannya tanpa aturan, dan kakinya menghentak secara sporadis. Banyak orang menyebut aksi panggung Ian hanya sekedar ‘dansa’, tapi sepertinya lebih dari itu; ‘dansa’ itu adalah manifestasi Ian terhadap tubuhnya sendiri, begitu juga manifestasi Ian terhadap epilepsinya. Namun, tak ada yang benar-benar tahu makna pastinya.
Manifestasi epileptik Ian Curtis di lirik-lirik Joy Division mengingatkan saya pada Fyodor Dostoevsky, seorang penulis besar dan filsuf asal Rusia. Dostoevsky sama seperti Ian, ia mengidap epilepsi dan menceritakan pengalaman-pengalaman epileptiknya dalam bentuk tulisan—dan secara spesifik—ia menuliskan pengalaman episode kejang yang ia alami ke dalam buku hariannya dengan begitu detail. Salah satu karya Dostoevsky yang paling terkenal adalah novelnya yang berjudul The Idiot. Di buku tersebut, Dostoevsky mengelaborasi epilepsi melalui karakter bernama Myshkin, seorang pemuda pengidap epilepsi yang mengalami banyak kemalangan dalam hidupnya. Dostoevsky bercerita melalui Myshkin, sedangkan Ian bercerita melalui lirik puitisnya di Joy Division.
Apa yang dirasakan Dostoevsky dan Ian Curtis karena epilepsi tentu adalah sebuah rintangan yang tak berkesudahan. Minimnya pengetahuan dan literasi di masa itu perihal penyakit syaraf ini menciptakan stigma negatif di lingkungan sosial, membuat beban pengidap epilepsi semakin berat. Bisa dibilang, Ian tak mendapat penangan medis terbaik ketika ia pertama kali terdiagnosa epilepsi karena masih kecilnya upaya penelitian terkait penyakit ini, membuatnya harus mengkonsumsi banyak obat keras. Intensnya konsumsi obat-obatan itu berdampak pada psikis Ian, membuat emosinya fluktuatif, berubah-ubah, dan sulit dikontrol.
Emosi fluktuatif Ian kemudian berekskalasi menjadi lebih buruk, mempengaruhi lini kehidupannya yang lain. Pernikahannya dengan Deborah Woodruff yang menghasilkan seorang anak perempuan, mengalami keretakan ketika Ian bertemu Annik, seorang jurnalis asal Belgia. Ian berselingkuh dengannya kemudian ia menyesali perbuatan itu, akibatnya argumen seringkali terjadi diantara Ian dan Deborah; menciptakan suasana dingin di rumahnya. Penyesalan Ian kepada istrinya, kemudian ia tuliskan, dan kalimat berikut seketika tercipta di buku hariannya; “When routine bites hard and ambitions are low / And resentment rides high but emotions won’t grow / And we’re changing our ways, taking different roads / Then love, love will tear us apart again”, bait puisi itu menjelma menjadi lagu “Love Will Tear Us Apart”.
Epilepsinya yang berdampak ke kehidupan pribadi, ditambah jadwal panggung yang makin padat, membuatnya tak memiliki waktu rehat, setidaknya untuk sekedar merefleksikan semua masalah yang datang. Namun, nampaknya Ian tak membutuhkan itu semua. Pada 17 Mei 1980, setelah argumen kesekian dengan Deborah perihal keinginan sang istri untuk bercerai, Ian kembali mengalami kejang hingga membuatnya tertidur. Ia terbangun di malam harinya dengan kondisi fisik yang buruk.
Meski demikian, Ian berusaha melanjutkan aktivitasnya; menonton film Stroszek karya Werner Herzog, dan mendengarkan album The Idiot milik Iggy Pop—album yang terinspirasi dari novel Dostoevsky. Keesokan harinya, sehari sebelum Joy Division melaksanakan tur ke Amerika Serikat, Ian ditemukan gantung diri di dapur rumahnya. Ian meninggal di usia 23 tahun; sangat muda, juga begitu terburu-buru.
Kematian Ian, begitu juga dengan keberlangsungan Joy Division, adalah suatu kemalangan yang sulit dihindari. Rasanya, seakan langit mendung tiba-tiba menutupi Manchester, seketika hujan badai datang membasahi tanah dan reda beberapa waktu kemudian; menghasilkan aroma petrikor di tiap sudut kota juga menciptakan pelangi di hamparan langit. Aroma petrikor yang menenangkan itu, begitu pula dengan eloknya pelangi, adalah keindahan setelah kengerian badai.
Ian Curtis—melalui lirik-lirik depresif di Joy Division dan hari kematiannya—adalah badai itu. Pelangi dan petrikor adalah legasinya; Sumner, Morris, Hook, beralih ke sisi terang dari gelap dengan menyudahi Joy Division dan membentuk New Order, entitas besar lain yang memantik pergerakan musik dansa elektronik di era sekarang. Kemudian, post-punk terus bergulir bagai bola salju, menghasilkan sub-kultur lain macam gotik dan era baru setelahnya dengan post-punk revival, menginspirasi band-band Inggris lain seperti Interpol, Bloc Party, Franz Ferdinand, Arctic Monkeys, hingga yang lebih besar macam U2, The Cure, sampai Radiohead.
Ian Curtis telah tiada, begitu pula dengan segala paranoianya. Seperti penggalan lirik “Atmosphere” milik Joy Division; Abandoned too soon / Set down with due care / Don’t walk away in silence / Don’t walk away, Ian ternyata memilih pergi dan kepergian itu terlalu cepat kedatangannya, namun di sisi paling baik dan paling cerah, kepergian itu tak sehening kelihatannya. Ian Curtis pergi, dan semenjak itu pula, musik takkan pernah sama lagi.
Editor: Syauqi Kinan