Global Climate Strikes 2023: Bandung Darurat Sampah

Kebakaran yang terjadi di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Sarimukti, Kecamatan Cipatat, Kabupaten Bandung Barat, membawa dampak luas pada pengelolaan sampah di Kota Bandung. Kebakaran yang terjadi di TPA Sarimukti menjadi pusat perhatian para pemerhati lingkungan dan perhatian terhadap pentingnya tata kelola sampah di Kota Bandung beserta pencegahannya di masa mendatang.

Oleh: Maulana Ridwansyah

Terjadi pada Sabtu (19/8), api sempat padam namun muncul kembali hingga berkobar sangat besar, membakar habis gunung sampah setinggi sekitar 50 meter. Dugaan awal penyebab kebakaran dipicu oleh percikan (api) puntung rokok, diperparah dengan kadar gas metan dari pembusukan sampah. Diperkirakan seluas 18,4 hektar tanah terbakar, dan TPA Sarimukti harus menutup sementara penerimaan sampah Bandung Raya.

Hingga saat ini, api masih belum sepenuhnya padam dan pemerintah meresponnya dengan sangat buruk. Bahkan, Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Bandung Barat menyatakan menyerah memadamkan api yang melahap sampah di TPA Sarimukti, bersamaan dengan berakhirnya masa tanggap darurat yang dikeluarkan oleh Pemkab Bandung Barat. Selanjutnya penanganan kebakaran TPA Sarimukti akan diambil alih Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jawa Barat.

Kejadian ini menjadi pemicu Suar Nusantara dan aliansi kabaret pelajar di Kota Bandung untuk mengadakan aksi iklim yang diberi judul “Global Climate Strikes” terkait darurat sampah di Kota Bandung. Krisis iklim yang terjadi di beberapa kota di Indonesia juga menjadi alasan besar digelarnya acara ini.

Namun, pada tahun ini isu lingkungan yang diangkat akan dimulai dari simpul masing-masing kota dengan ragam isu lokal yang sedang relevan di kota tersebut. Terdapat 14 kota di Indonesia yang akan mengadakan aksi iklim ini, dengan isu dan cara yang berbeda pula di setiap kotanya. Rangkaian aksi “Global Climate Strikes” akan digelar pada tanggal 15-24 September 2023, rangkaian yang disebut sebagai “Week of Resistance” (Minggu Perlawanan).

Persiapan acara ini dimulai sejak tanggal 8 September, saat itu Suar Nusantara mengadakan konsolidasi dengan pelajar SMP-SMA di Kota Bandung, lalu 15 September diadakan konferensi pers untuk membahas agenda yang akan diselenggarakan pada tanggal 17 September nanti. Mereka berharap, setelah aksi pada tanggal 17 September akan ada kelanjutan aksi untuk terus-menerus mengangkat isu iklim terutama masalah sampah di Kota Bandung.

“Global Climate Strikes” merupakan aksi krisis iklim berskala internasional. Pada tahun 2018, aktivis iklim Greta Thunberg melakukan aksi “Mogok Sekolah untuk Iklim”, saat itu usianya masih 15 tahun. Greta mulai melakukan protes di luar parlemen Swedia sambil membawa penanda “MOGOK SEKOLAH UNTUK IKLIM”. Protes tunggal yang dilakukan oleh Greta Thunberg berhasil meng-influence berbagai gerakan perlawanan terhadap krisis iklim di beberapa negara, salah satunya adalah Indonesia.

Aksi ini juga digunakan sebagai media untuk menyentil pemerintah agar turun langsung menyelesaikan permasalahan sampah di Kota Bandung serta menuntut kesigapan pemerintah dalam menangani permasalahan sampah ini. Jika pengelolaan sampah dilakukan dengan benar, mungkin kejadian di TPA Sarimukti tidak akan terjadi, hal ini masih bisa dikatakan karena abainya pemerintah terhadap krisis sampah.

Pengelolaan sampah dengan baik dan benar harus dimulai dari skala terkecil, yakni pengelolaan sampah dengan mulai memilah sampah organik-anorganik di rumah. Pertanyaannya, setelah prosedur itu terjadi, apakah pemilahan sampah kembali dilakukan di TPS (Tempat Pembuangan Sementara) maupun di TPA? Karena seringkali petugas sampah langsung saja menumpahkan sampah secara acak sampah yang sebelumnya telah dipilah di rumah ke tampungan sampah. Hal itu dikarenakan pengelolaan sampah dengan metode open dumping (sistem terbuka) masih marak dilakukan di TPA-TPA di Indonesia.

Metode open dumping adalah metode pengelolaan sampah secara sederhana. Sampah dibuang di tanah yang cekung tanpa pengaman atau penutup apapun sampai tanah tersebut penuh dan kemudian ditinggalkan. Metode ini memiliki potensi merusak iklim lebih besar dibanding metode sanitary landfill atau controlled landfill yang menimbun sampah dengan tanah. Penumpukan sampah tanpa proses apapun akibat metode open dumping dapat mencemari air, tanah, dan udara, disebabkan oleh cairan lindi, gas metana, karbondioksida, amoniak, hidrogen disulfida, dan zat berbahaya lainnya.

Padahal, metode open dumping telah dilarang penggunaannya oleh pemerintah. Tertuang di Undang-undang (UU) No. 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah, di pasal 45 tertulis Pemerintah Daerah harus menutup TPA yang masih menggunakan sistem pembuangan terbuka paling lama lima tahun sejak berlakunya Undang-undang tersebut. Namun kenyataannya,  TPA-TPA di Indonesia masih banyak yang menggunakan metode pengancam lingkungan ini. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mencatat masih ada sebanyak 35,46% tempat pembuangan akhir (TPA) yang dikelola secara open dumping hingga Mei 2022.

Akibat dari penumpukan sampah tanpa proses ini, dampak paling buruk yang bisa terjadi adalah meningkatnya buangan gas metana. Gas metana berasal dari produksi gas alam, minyak bumi, serta pembusukan limbah organik. Buangan gas metana yang berlebihan dapat membahayakan lingkungan karena gas ini merupakan salah satu zat pemicu terjadinya efek rumah kaca. Selain itu, gas metana adalah zat yang sangat mudah terbakar meski dipicu percikan api sekecil apapun.

Pemerintah acap kali mengabaikan pengelolaan sampah, bagaimana tidak, sebelum api melahap tumpukan sampah TPA Sarimukti, 18 tahun lalu tepatnya pada 21 Februari 2005, peristiwa mengenaskan terjadi ketika tumpukan sampah setinggi 60 meter dengan panjang 200 meter di TPA Leuwigajah, tiba-tiba longsor akibat ledakan hingga menenggelamkan dua kampung sekitar, yakni Kampung Cilimus dan Kampung Pojok. 157 orang tewas dalam kejadian naas ini. Peristiwa longsor TPA Leuwigajah disebabkan oleh metode open dumping yang berbahaya, dan disinyalir ledakan yang terjadi merupakan reaksi gas metana yang mudah terbakar.

Suar Nusantara menggaet komunitas kabaret karena kabaret berhubungan erat dengan kesenian. Seni kabaret di masa kini adalah sebuah budaya populer yang mudah dicerna oleh masyarakat, sehingga isu ini akan lebih efektif jika menggunakan metode yang mudah diterima masyarakat.

Krisis iklim dianggap sangat berkaitan dengan anak muda, sehingga jika krisis iklim tidak ditanggapi dengan baik oleh pemerintah, generasi muda yang akan merasakan banyak efek dari pengaruh buruknya iklim ini. Kampanye ini diharapkan dapat menjadi ajang untuk menambah awareness masyarakat terhadap isu iklim yang terjadi di Kota Bandung, kampanye ini juga ditujukan kepada seluruh elemen masyarakat di Kota Bandung.

Mereka juga akan menyuarakan isu ini dengan menggunakan kostum dari limbah plastik sekali pakai, untuk menyadarkan bahwa sampah juga memiliki manfaat jika digunakan sesuai dengan kapasitasnya. Selain aksi yang akan dilakukan di Taman Cikapayang Dago, mereka juga akan melakukan long march di momen Car Free Day Dago. Selain itu, akan digelar mimbar bebas untuk siapapun yang ingin mengeluarkan keluh kesahnya terhadap isu iklim di Kota Bandung. Mereka ingin krisis iklim ini dirayakan dengan demonstrasi riang, gembira, dan jauh dari anarkis.

Suar Nusantara juga mengusung 3 tagar untuk acara yang akan berlangsung ini, diantaranya adalah; #BikinAksimu, #BandungDaruratSampah, dan #PukulMundurKrisisIklim. Tagar ini tidak serta merta keluar begitu saja, mereka sangat berharap dengan tagar ini dapat menumbuhkan kepekaan masyarakat dan mengajak untuk lebih memperhatikan isu iklim, karena tanpa disadari, masyarakat dalam simpul terkecil juga terkena dampak dari krisis iklim dan darurat sampah ini.

Editor: Fikrazamy Ghifari