First Reformed: Lingkungan, Iman, dan Krisis yang Mengitarinya
[PERINGATAN] Artikel berikut mengandung unsur bunuh diri, perilaku menyakiti diri sendiri, depresi, dan referensi terkait isu mental lainnya yang mungkin akan mengganggu kenyamanan pembaca. Kebijaksanaan pembaca disarankan.
Oleh: Fikrazamy Ghifari
Dewasa ini, topik lingkungan menjadi salah satu topik paling menggugah di publik. Bentuk dan output-nya bisa beragam; kerap jadi diskursus antar aktivis-warganet di X/Twitter, atau jadi teriakan di mimbar bebas aksi krisis iklim, dan baru-baru ini, topik lingkungan tak disangka sering muncul di obrolan keseharian warga-wargi Bandung. Pemantiknya—tak lain, tak bukan—akibat aroma busuk sampah yang semakin menyengat, tercium di mana-mana.
Terbakarnya lautan sampah seluas 15 hektar lebih di TPA Sarimukti hingga berefek domino ke membludaknya volume sampah di banyak TPS di Kota Bandung adalah pemantik yang sempurna, karena bisa dibilang aroma yang ditimbulkan sampah di banyak titik pembuangan di kota sudah melewati batas wajar—dan batas sabar—warga, hingga pada akhirnya mereka harus bersikap kritis terhadap isu lingkungan, plus mengutuk pihak berwenang yang tak becus dalam mengelola sampah ini; itu merupakan awal yang bagus.
Setidaknya, slogan “kebersihan adalah sebagian dari iman” yang mudah ditemukan terpampang di tiap fasilitas publik dapat diterapkan, meski hanya sebatas mindset, karena saat ini kita sudah mencapai tahap tak tahan bau busuk sampah yang ironisnya adalah sampah milik kita sendiri. Namun, tidak menutup kemungkinan yang mulanya hanya sekadar mindset, bisa berekskalasi menjadi aksi nyata; mungkin dari langkah terkecil seperti membiasakan memilah sampah sebelum dibuang, sampai ke langkah yang cukup menguras waktu & tenaga seperti menanam pohon di tempat-tempat minim lahan hijau.
Berbicara slogan yang sempat disebutkan sebelumnya, bagaimana jika slogan tersebut adalah sebuah enigma atau pertanyaan, bagaimana jika kebersihan—atau isu lingkungan secara umum—malah bisa menggoyahkan keimanan kita alih-alih menjadi entitas yang positif? Karena bagi saya, slogan—yang entah dari siapa pencetusnya—tersebut seolah memiliki nuansa yang sangat religius, atau setidaknya, memiliki pengaruh yang krusial terhadap baik-buruknya keyakinan seseorang.
Lima tahun lalu, penulis & sutradara kenamaan asal Amerika Serikat, Paul Schrader, memprovokasi pertanyaan itu. Melalui film drama psikologis berjudul First Reformed, Paul dengan berani menggunakan perspektif pemuka agama yang kental akan pemikiran konservatif dan religius kemudian membenturkannya dengan isu yang notabene kontemporer dan kritis; isu krisis iklim. Lewat narasi tersebut, First Reformed membuahkan pernyataan, pandangan, sampai dilema yang belum pernah terpikirkan sebelumnya, baik dalam konteks spiritual hingga gerakan aktivisme sekalipun.
First Reformed membawa penonton melihat fenomena modern tersebut dari kaca mata pendeta Protestan bernama Ernst Toller (Ethan Hawke), seorang pendeta di Gereja First Reformed yang bersejarah di New York. Di kehidupan lamanya sebelum menjadi pemuka agama, Toller adalah seorang Ayah yang tengah bergumul dengan depresi usai kematian anaknya saat perang Irak. Rasa kehilangan itulah yang kelak mendorong Toller untuk mencari pemahaman spiritual dengan harapan untuk bangkit dari fase depresif itu. Harapan tersebut hadir ketika ia menemukan megachurch bernama Abundant Life, yayasan yang menaungi gereja First Reformed, tempat di mana ia memantapkan keimanannya.
Konflik utama di film ini mengemuka ketika Toller dipertemukan dengan Mary (Amanda Seyfried), seorang istri yang tengah hamil muda. Mary meminta Toller untuk memberikan konseling spiritual untuk suaminya, Michael (Philip Ettinger), seorang aktivis lingkungan yang sedang mengalami perdebatan keyakinan karena kehamilan istrinya.
Michael, dengan keyakinan aktivisme radikal yang cenderung pesimistik, menginginkan untuk mengaborsi buah hati pertamanya. Ia merasa bersalah jika membawa seorang anak ke dunia yang sudah ringkih ini; penuh polusi, cuaca ekstrem, dan kerusakan ekologis lainnya. Menurutnya, seorang anak yang penuh harapan akan masa depan cerah dan lahir ke dunia yang rusak akibat ulah manusia itu sendiri adalah bukti kenaifan yang absolut. Toller dengan perasaan empati sebagai seorang Pastor, mengiyakan permintaan Mary sekaligus menghadapkannya kepada situasi penantang iman paling besar di hidupnya.
Ditengah keputusasaan yang menghantui Michael, Toller dengan pandangan agamis dan positifnya, berusaha meyakinkan Michael bahwa keputusasaan yang Michael rasakan ketika membawa anak ke dunia ini, tak bisa menyamai keputusasaan mengambil kehidupan anak tersebut. Toller meyakini bahwa harapan dan keputusasaan bukanlah dua hal yang kontradiktif, melainkan sebuah kesatuan yang menjadikan kehidupan itu sendiri, dan Michael membutuhkan keberanian untuk menggenggam dua hal itu.
Sebelum jadwal konseling kedua tiba, Mary menghubungi Toller untuk datang ke rumahnya. Usut punya usut, Mary menemukan rompi peledak di gudang rumahnya yang dirancang Michael untuk diledakkan di sebuah demonstrasi protes iklim. Toller melihat temuan tersebut, beritikad untuk menghindari keterlibatan polisi terkait temuan ini dan menemui Michael secara privat untuk membicarakannya, Mary pun setuju. Naas, sebelum keduanya sempat bertemu, Michael mengakhiri hidupnya di tengah hutan dengan selonsong shotgun. Kematian Michael, tanpa disadari, berdampak kepada batin Toller; mengetuk pintu keimanannya dan menghantuinya kemudian.
“Dapatkah Tuhan mengampuni kita? Atas apa yang telah kita lakukan pada dunia ini?”, tanya Michael, saat pertemuan pertamanya dengan Toller. Tak disangka pertanyaan tersebut pada akhirnya menjadi dilema besar bagi Toller sendiri, dan bagaimana mungkin, segala kegundahan yang dirasakan Michael pada dunia, bisa membawanya ke level paling destruktif hingga mengakhiri hidupnya sendiri.
Tentu rentetan peristiwa ini tak serta-merta menegaskan bahwa Michael tidak memiliki iman, karena ia punya keimanan tersebut, sebuah idealisme yang ia pegang erat; dunia yang telah rusak yang ia yakini tak ada cara lagi untuk memperbaikinya. Sementara di sisi lain, Toller perlahan mempertanyakan keimanannya sendiri; pada Tuhan, pada ayat-ayat suci pegangannya, bahwa akankah ada pengampunan dari Tuhan ketika kita merusak alam ciptaan-Nya yang diberikan secara cuma-cuma ini?
Melalui narasi tersebut, Paul Schrader selaku penulis sekaligus sutradara film ini memprovokasi keimanan ke tahap yang lain. Tentunya, tak begitu saja memprovokasi untuk intensi negatif, melainkan provokasi yang sifatnya eksploratif hingga memberi kita pandangan lain di tengah diskursus yang tengah ramai tempo hari, spesifiknya di Kota Bandung yang tengah berkutat dengan aroma sampah berikut gas metannya.
Paul mengeksplorasi slogan “kebersihan adalah sebagian dari iman” yang banal, ke kemungkinan yang belum terpikirkan sebelumnya tanpa serta-merta menegasikan slogan tersebut; bagaimana krisis lingkungan dapat bersinggungan dengan ranah lain yang lebih personal macam keimanan. Melalui film berdurasi 1 jam 53 menit yang beralur slow-pace, Paul mengajak penonton untuk menikmati film ini secara meditatif, dengan shot statis sepanjang film, juga tanpa skoring, hingga pada akhirnya ditampar keras di babak terakhir film.
Apa yang dialami Pendeta Toller dan juga Michael tentang pergulatan keimanannya masing-masing, membuahkan pandangan yang lain tentang topik lingkungan ini, bahwa isu lingkungan yang selalu ramai beserta ancaman krisisnya, dapat berkecambah menghasilkan krisis-krisis lain; dari hubungan kita kepada Sang Pencipta maupun gerakan aktivisme yang dapat berekskalasi menjadi gerakan teror nan radikal.
Meski tak menutup kemungkinan interpretasi lain dapat muncul terkait ending atau konteks film secara keseluruhan, namun terciptanya ragam interpretasi tersebut adalah bukti kemagisan sinema itu sendiri yang mana harus kita syukuri, bukan? Terlepas dari interpretasi, First Reformed adalah salah satu magnum opus Paul Schrader yang akan diingat berani memulai pembicaraan publik mengenai persilangan dua hal yang berbeda; tanpa menyulut api mana yang benar mana yang salah.
Editor: Syauqi Kinan