Meninjau Kinerja Satgas PPKS Unisba dan Mengapa Kasus Kekerasan Seksual di Lingkungan Kampus Merupakan Tanggung Jawab Bersama
Buntut dari kasus pelecehan seksual yang terjadi di lingkungan kampus Universitas Islam Bandung (Unisba) pada Jum’at (14/7) lalu, Satuan Tugas (Satgas) Pencegahan dan Penangan Kekerasan Seksual (PPKS) Unisba menggelar Diskusi Publik bertemakan “Membincang Kekerasan Seksual di Kampus: Masih Adakah Ruang Aman?” di Ruang Akuarium Unisba, Jl. Tamansari No. 1, Tamansari, Kota Bandung, Selasa (8/8).
Oleh: Fikrazamy Ghifari
Diskusi Publik ini mengundang beberapa narasumber diantaranya Maulida Zahra (Lembaga Bantuan Hukum Bandung), Tsabit Aqdam (Suara Mahasiswa), Muhamad Febry (Keluarga Mahasiswa Jurnalistik), dan Dian Andria Sari (Ketua Satgas PPKS Unisba). Topik utama diskusi ini membahas tentang pencegahan, penanganan, penanggulangan kekerasan seksual di lingkungan kampus, kinerja Satgas PPKS Unisba, serta kelanjutan kasus pelecehan seksual yang terjadi pada Juli lalu.
Kasus pelecehan seksual tersebut terjadi di lingkungan kampus Unisba pada Jum’at (14/7) lalu sekitar pukul 9 malam. Korban yang bukan merupakan mahasiswa Unisba, mengalami penguntitan menggunakan kamera ponsel saat sedang menggunakan toilet yang terletak di Masjid Al-Asy’ari Unisba. Pelaku tertangkap basah dan sempat dihakimi oleh massa yang kebetulan sedang berkegiatan di dekat tempat kejadian perkara. Pelaku diamankan beserta barang bukti berupa rekaman penguntitan di ponselnya. Pelaku diketahui merupakan mahasiswa aktif Fakultas Dakwah Unisba.
Peristiwa tersebut membuat heboh masyarakat kampus Unisba dan menjadi judul berita utama media-media kampus. Mahasiswa Unisba menyayangkan terjadinya peristiwa tersebut bisa terjadi di lingkungan kampus, akibatnya banyak bermunculan pandangan negatif tertuju kepada Satgas PPKS Unisba terkait kinerja pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di lingkungan kampus. Selain itu, tak sedikit pula yang mempertanyakan langkah prosedurial Satgas PPKS Unisba terhadap kasus ini, terutama sanksi apa yang dijatuhkan pada pelaku.
Dian Andria Sari, selaku Ketua Satgas PPKS Unisba, dalam Diskusi Publik menegaskan bahwa Satgas PPKS memiliki kode etik pemeriksaan sebagaimana yang tertera di Permendikbudristek No. 30 Tahun 2021. Dian menyebutkan, Satgas PPKS merupakan lembaga yang diamanahi Mendikbudristek dengan tugas dan wewenang terbatas, dan penjatuhan sanksi bukan merupakan wewenang dan keputusan Satgas PPKS, melainkan Pimpinan Perguruan Tinggi.
Dian juga merespon pertanyaan publik yang mendesak Satgas PPKS agar segera menyelesaikan kasus yang terjadi Juli lalu. Dian menyebut, Permendikbudristek membatasi jangka waktu pemeriksaan Satgas atas laporan kekerasan seksual paling lama 30 hari kerja sebagaimana tertulis di Pasal 41 Ayat 6 Permendikbudristek.
Terkait respon tersebut, Dian berharap publik dapat mengerti akan peran dan wewenang Satgas PPKS dalam kasus ini serta meluruskan miskonsepsi publik bahwa Satgas PPKS bukan merupakan lembaga penegak hukum melainkan lembaga yang bersifat koordinatif dan konsolidatif.
Ketika ditanya tentang perkembangan kasus, Dian menjawab dengan tahapan penanganan dan pemeriksaan yang telah dilakukan Satgas. “Setelah kejadian 14 Juli itu, dua hari setelahnya, tepatnya pada Minggu (16/7), Kami langsung bekerja dengan memeriksa 3 aktor utama; pelaku, korban, dan saksi, kita mintai keterangan banyak sekali,” ungkapnya. “Tahap selanjutnya, Kami pleno terkait dengan berita acara pemeriksaan itu, dan pleno itu Kami sudah rapatkan dengan pimpinan via Zoom,” sambung Dian.
Terkait tahapan penangan dan pemeriksaan tersebut, Dian memiliki beberapa catatan untuk Satgas yang harus diperbaiki diantaranya adalah Satgas PPKS harus menghadirkan beberapa ahli dalam jalannya pemeriksaan, salah satunya psikolog, yang mana telah dihadirkan untuk mendampingi pelaku, serta ahli hukum yang akan dihadirkan pada hari Sabtu (12/8). Terlepas dari catatan tersebut, Dian menilai sejauh ini Satgas PPKS Unisba telah menjalankan prosedur penangan yang sesuai dengan Permendikbudristek.
KMJurnalistik sempat menanyakan terkait kondisi korban saat ini, Dian menyatakan saat ini korban tidak lagi menghubungi Satgas PPKS Unisba. “Korban tidak lagi menghubungi Kami, dan tidak lagi memberikan tuntutan,” jelasnya.
Selain pemeriksaan, Diskusi Publik ini menyinggung kinerja Satgas PPKS di lini pencegahan kekerasan seksual. Disebutkan di Pasal 6 Ayat 1 Permendikbudristek No. 30 Tahun 2021, perguruan tinggi wajib melakukan pencegahan kekerasan seksual melalui pembelajaran, penguatan tata kelola, dan penguatan budaya komunitas mahasiswa, pendidik, dan tenaga kependidikan. Terkait lini pencegahan tersebut, Dian sebagai Ketua Satgas PPKS Unisba menilai telah melakukan sosialisasi sebagai bentuk pembelajaran.
Dian menyebut, sosialisasi Satgas PPKS lebih menargetkan Organisasi Mahasiswa (Ormawa) dan mahasiswa baru saat Ta’aruf (kegiatan pengenalan mahasiswa baru Unisba). Dian juga mengakui terdapatnya kekurangan di aspek sosialisasi ini, yaitu minimnya sosialisasi di media sosial Satgas PPKS Unisba. Dian menyatakan Satgas PPKS Unisba saat ini tidak memiliki Divisi Media yang bertugas untuk mengelola media sosial, alasan tersebut berakibat pada tersendatnya sosialisasi Satgas dan akses informasi publik kepada Satgas PPKS itu sendiri.
Selain tidak adanya Divisi Media di jajaran Satgas PPKS Unisba, Dian juga menyinggung perihal anggaran dana Satgas. Saat ini, anggaran dana Satgas PPKS Unisba terhitung terbatas dan tak ada ketetapan pasti dari Universitas. Disamping anggaran, Dian juga menegaskan bahwa seluruh anggota Satgas PPKS Unisba tidak digaji sama halnya Satgas lain di kampus. “Tim Satgas semuanya tidak digaji, Kami berjalan dengan idealisme sendiri, dan atas nama ibadah,” ungkapnya, menunjukkan pekerjaan Satgas adalah bentuk pengabdian kepada masyarakat dan lembaga. Dian juga menyebutkan Satgas saat ini sedang mengajukan permohonan kepada pihak kampus agar diberikan ruang kerja sendiri
Terlepas dari problema dana dan penetapan anggaran, Dian tetap mengapresiasi penuh kebijakan politis Universitas dalam membentuk Satgas PPKS di kampus sesuai mandat Permendikbudristek No. 30 Tahun 2021. Dian pun mendukung Permendikbudristek namun dengan beberapa catatan, terutama perihal sarana prasarana dan anggaran Satgas PPKS yang menurut kritisnya bisa ditetapkan secara jelas di Peraturan Menteri tersebut.
Perlu diketahui, per Senin (24/7) lalu, publik sempat dihebohkan dengan aksi Satgas PPKS Universitas Indonesia (UI) menutup sementara layanan penerimaan laporan kekerasan seksual di kampus akibat tidak diberikan dana atau bantuan operasional oleh pihak kampus. Seperti yang dilansir BBC.com, Satgas PPKS UI sebelum melakukan aksi mogok tersebut tengah menangani 29 laporan kasus kekerasan seksual, namun terlepas dari itu, mereka akan tetap mengusut kasus-kasus tersebut.
Dalam rilis resmi yang dikeluarkan Satgas PPKS UI, sejak Satgas terbentuk pada November 2022, pihak kampus tidak memberikan dana maupun ruangan yang kondusif untuk Satgas PPKS UI bekerja. Masih dalam rilis yang sama, Satgas PPKS UI beritikad untuk menghentikan penerimaan laporan kasus kekerasan seksual hingga Pimpinan Kampus (UI) berkomitmen untuk memenuhi tanggung jawabnya.
Sulitnya Implementasi Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual
Diskusi Publik Satgas PPKS Unisba turut mengundang Maulida Zahra dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Kota Bandung untuk memaparkan materi mengenai Undang-undang (UU) Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS). Perlu diketahui UU TPKS telah disahkan pada 9 Mei 2022 dan pengesahan tersebut merupakan momentum penting bagi pemenuhan hak asasi manusia (HAM) serta sebagai penyebarluasan pengetahuan bagi publik mengenai kekerasan seksual.
Terhitung setahun setelah disahkan, UU No. 12 Tahun 2022 tentang TPKS seringkali menemui kendala dalam penerapannya. Maulida dalam Diskusi Publik menjelaskan, UU TPKS masih banyak aspek yang harus dikritisi, terlebih mengenai pemahaman UU TPKS oleh aparat penegak hukum. Menurutnya, aparat penegak hukum cenderung mempunyai pemahaman dan tafsiran berbeda terhadap UU TPKS ketika menangani kasus kekerasan seksual.
Dilansir Kompas.id, Ratna Batara Munti, Koordinator Advokasi Kebijakan Nasional Asosiasi Lembaga Bantuan Hukum APIK Indonesia, pada Kamis (11/5) mengatakan, “meskipun sudah diundangkan sejak 9 Mei 2022, penegakan UU TPKS masih lemah. Pemahaman aparat penegak hukum belum merata di semua wilayah”. Ratna juga menyatakan, bahkan di beberapa daerah hingga kini masih ditemukan aparat yang menolak menggunakan UU TPKS dalam penanganan kasus kekerasan seksual.
Peran Media dalam Menyikapi Kasus Kekerasan Seksual
Selain menghadirkan Maulida Zahra sebagai perwakilan LBH Kota Bandung, Diskusi Publik juga turut mengundang perwakilan dari dua pers kampus Unisba yaitu Tsabit Aqdam (Suara Mahasiswa) dan Muhamad Febry (Keluarga Mahasiswa Jurnalistik). Kehadiran wakil dari dua media kampus tersebut bertujuan untuk memberikan perspektif dan peran media dalam menyikapi kasus kekerasan seksual, khususnya di lingkungan kampus.
Dalam keberlangsungan negara, pers berperan sebagai anjing penjaga (watchdog) demokrasi. Merujuk istilah anjing penjaga demokrasi tersebut, pers memiliki tanggung jawab untuk menjalankan fungsi kontrol sosial dengan menjaga gerak-gerik pemangku tertinggi melalui publikasi informasi yang merupakan hak publik. Penjelasan tersebut turut berlaku dalam kasus ini, media kampus dituntut untuk mengawal kasus kekerasan seksual di lingkungan kampus.
Tsabit Aqdam membagikan pengalamannya ketika mengawal kasus kekerasan seksual di lingkungan kampus bersama Suara Mahasiswa. Tsabit mempublikasikan berita terkait kekerasan seksual dengan kehati-hatian yang lebih, mengingat topik kekerasan seksual sifatnya sensitif. Tsabit harus mempertimbangkan perlindungan korban dan dirinya sendiri, karena tak menutup kemungkinan, ancaman dari pihak luar bisa saja datang dalam bentuk apapun. Terlepas dari itu semua, Tsabit merasa Suara Mahasiswa sebagai pers kampus memiliki tanggung jawab moral untuk tetap mengawal kasus-kasus tersebut dan mempublikasikannya.
Muhamad Febry, mewakili media kampus Unisba yang lain yaitu Keluarga Mahasiswa Jurnalistik, turut menyampaikan pendapatnya perihal pentingnya tanggung jawab bersama dalam pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di lingkungan kampus. Menurutnya, dalam hal pencegahan, diperlukan pendidikan mengenai seksualitas di lingkungan kampus yang mana Satgas PPKS memiliki wewenang untuk itu. Pendidikan dan sosialisasi sangat penting karena terjadinya kekerasan seksual merupakan permasalahan pola pikir dan moral.
Di sisi penanganan, Febry beranggapan kekerasan seksual di lingkungan kampus merupakan tanggung jawab civitas academica itu sendiri, meliputi dosen, mahasiswa, hingga tenaga pendidik lainnya. Media kampus juga perlu untuk tetap mengawal kasus-kasus kekerasan seksual hingga menemui titik terang, namun tetap tanpa mengesampingkan tahap verifikasi berita. Febry menyebut disiplin verifikasi merupakan salah satu elemen jurnalistik yang sangat penting untuk dilakukan, apalagi di era informasi serba cepat seperti sekarang.
Editor: Hasbi Asdiqi