PLTU Tanjung Jati A : Merusak Lingkungan, Mata Pencaharian Warga dan Keuangan Negara
“Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), Bersihkan Indonesia, dan LBH Bandung mengadakan konferensi pers secara hybrid di kantor LBH Bandung yang bertepatan di Jl Terusan Jakarta, Antapani, Bandung (15/8).” Foto: Syauqi Kinan/ KMJurnalistik.com via youtube LBH Bandung
Oleh: Syauqi Kinan
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), Bersihkan Indonesia dan LBH Bandung mengadakan konferensi pers secara hybrid di kantor LBH Bandung, JL Terusan Jakarta, Antapani, (15/8). Dengan bahasan “Mengapa PLTU Tanjung Jati A Harus Dibatalkan?” Rencananya pembangunan ini akan dibangun di Desa Pangarengan, Kab Cirebon. PLTU Tanjung Jati A merupakan proyek pembangkit listrik yang menggunakan energi kinetik dari uap. PLTU ini akan memiliki kapasitas 2×660 MW. Proyek ini diambil oleh YTL Power dari Malaysia yang berkerjasama dengan Bakrie Power.
Untuk menghasilkan listrik, pembangkit listrik tenaga uap ini menggunakan bahan bakar berupa batu bara yang dimana emisi dari hasil pembakaran ini mengancam kehidupan manusia dengan gelombang panasnya, badai yang merusak, naiknya permukaan laut, dan kekeringan yang berkepanjangan. Ditambah dalam sidang lanjutan gugatan izin PLTU Tanjung Jati A (14/8) di PTUN Bandung, saksi dari pemerintah menyebutkan bahwa tidak adanya regulasi yang mengharuskan paparan emisi dan perubahan iklim dimasukan dalam analisis dampak lingkungan (AMDAL).
“Sudah seharusnya pembangunan ini dibatalkan, apalagi PLTU akan melepaskan emisi karbon yang besar ke udara. Ini akan menyebabkan bencana besar yang membahayakan lingkungan hidup dan kesehatan manusia yang sulit dikembalikan ke kondisi semula” ujar Muit Pelu sebagai kuasa hukum penggugat. Beliau juga menambahkan bahwa jika pembangunan ini terjadi artinya pemerintah tidak serius dalam menanggapi krisis iklim ini.
“Negara juga seharusnya bertanggung jawab untuk memastikan perlindungan dan pemenuhan terhadap hak rakyat atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. Bukan malah melanggar pemenuhan hak tersebut dan memberikan beban atau kerugian bagi rakyat.” sambung Muit.
Pembangunan PLTU Tanjung Jati A juga mendapatkan sambutan kontra dari warga sekitar. Proses perencanaanya yang tidak melibatkan warga dan adanya tekanan yang dirasakan warga sekitar terhadap mata pencaharianya. Setidaknya 230 hektar tambak garam milik para petani akan terdampak, begitu juga para nelayan yang harus melaut lebih jauh lagi karena air yang tercemar menyebabkan biaya pencarian ikan yang naik dan tidak sebanding dengan hasil tangkapanya.
Adhinda Maharani dari Koalisi Rakyat Bersihkan Cirebon pun memberikan tanggapan mengenai hal ini “kami anak anak muda Cirebon berharap pembangunan ini diberhentikan. Karena kerusakan lingkungan yang akan semakin parah dan kami anak muda yang akan merasakanya di masa depan”, Tuturnya..
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) yang diwakili Meiki Panembong menambahkan pertimbangan terhadap gugatan yang diajukan oleh mereka yang didasari dengan kepedulian terhadap keuangan negara. PLTU memungkinkan untuk merugikan negara akibat mekanisme take or pay, yang dimana posisi kelistrikan Jawa-Bali telah melebihi batas atau oversupply. Mekanisme ini dapat mengeluarkan anggaran negara untuk kebutuhan yang tidak perlu dan apabila negara tidak sanggup membayar, maka rakyatlah yang menjadi korbannya.
Perencanaan pembangunan PLTU juga bertentangan dengan prinsip yang telah disepakati oleh negara. Indonesia menjadi anggota dalam Pakta Iklim Glasgow (COP 26) bersama negara-negara lainya. Artinya Indonesia telah sepakat dan berkomitmen untuk berhenti membangun pembangkit batu bara karena dampaknya yang akan mencemari lingkungan dan iklim. Bahkan presiden Indonesia pun telah berkomitmen terhadap publik internasional untuk menurunkan emisi karbon pada 2030 dan emisi nol karbon pada 2060, dan perencanaan pembangunan PLTU Tanjung Jati A ini jelas-jelas bertentangan dengan prinsip dan komitmen itu semua. Persoalan ini pun berunjung terhadap pembatalan izin PLTU Tanjung Jati A.
Editor: Rifa Khairunnisa