Burn the Flowers: Menambah Semaraknya Dago Elos atas Nama Solidaritas
“Beberapa anggota dari komunitas graffiti Burn the Flowers sedang menggambar mural bertuliskan ‘sabubukna!’ di kawasan Dago Elos, Bandung, Minggu (4/9). Acara itu digelar dalam rangka agenda kolaborasi mereka dengan aliansi Dago Melawan.” Foto: Nugraha Alif Akbar/KMJurnalistik.com
Oleh: Fikrazamy Ghifari
Aliansi Dago Melawan kembali menggelar agenda teranyar mereka. Di hari Minggu, tanggal 4 September, dari pukul 10 hingga selesai, aliansi Dago Melawan kali ini berkolaborasi dengan komunitas graffiti Burn the Flowers. Dengan agenda big wall jamming graffiti, workshop, stencil, dan kegiatan mewarnai untuk anak-anak, komunitas Burn the Flowers mencoba merespon perlawanan warga Dago Elos yang terancam penggusuran atas hak milik tanahnya.
Dago Elos sudah menjadi semacam wadah yang bisa dimanfaatkan sebagai ruang kolektif seni. Setelah berbagai macam gigs yang dihelat, kini giliran Burn the Flowers dengan graffiti-nya yang turut andil dalam meng-aktivasi ruang hidup warga Dago Elos. Ada pula pagelaran dari kawan-kawan Balebat Pakidulan dan Singa Depok Dago Elos, pagelaran yang sudah lama dirawat oleh warga setempat.
Lewat diksi berbahasa Sunda ‘sabubukna!’ yang artinya ‘sebubuknya!’, warga Dago Elos menyatakan lebih memilih hancur atau ‘bubuk’ di tanah mereka sendiri bila tak ada lagi langkah hukum yang bisa diambil untuk mempertahankan hak milik tanah mereka. Diksi tersebut kemudian dilukis pada tembok besar. “Harapannya, kata ‘sabubukna!’ itu bisa menjadi semacam pengingat perlawanan warga Dago Elos”, ucap Fland, selaku inisiator agenda ini ketika ditanya oleh KM Jurnalistik mengapa diksi itu dijadikan mural.
Menurut Fland, seluruh agenda Burn the Flowers tersebut tak lain sebagai bentuk simpati dan aksi solidaritas terhadap Aliansi Dago Melawan yang tak lelah menggaungkan isu sengketa tanah Dago Elos. “Sebenarnya simpel aja. Kita ingin turut bersolidaritas dan meng-aktivasi ruang hidup di Dago Elos ini”, ujarnya. Fland pun menuturkan bahwa campaign-campaign seperti yang diusung Burn the Flowers dan Dago Melawan harus diperbanyak lagi dan diperluas jangkauannya agar orang-orang awam yang tak tahu isu Dago Elos bisa turut aware jika ada yang sedang tidak baik-baik saja di antara mereka.
Pernyataan tersebut kemudian didukung oleh Babaw, salah satu kawan dari Aliansi Dago Melawan. Babaw dan kawan-kawan dari aliansi Dago Melawan sangat terbuka kepada komunitas atau kolektif yang ingin mengajak mereka berkolaborasi demi menjaga rutinitas aktivasi ruang hidup Dago Elos, apalagi komunitas atau kolektif tersebut hadir dari segmentasi seni seperti Burn the Flowers.
Saat ditanya mengapa alasan preferensi Aliansi Dago Melawan lebih menjunjung segmentasi seni, Babaw menuturkan bahwa seni merupakan gerbang agar orang-orang aware terhadap isu ini, seni juga merupakan hal yang mudah menarik atensi orang banyak. Pernyataan Babaw tersebut benar adanya, sebab Aliansi Dago Melawan dan kolaborator-kolaborator mereka kerap menggelar gigs-gigs yang dihadiri ratusan orang.
Seperti gigs yang digelar sehari sebelumnya hasil dari kolaborasi Dago Melawan dan brand pakaian Husted Youth, bertajuk ”Dance Tonight! Revolution Tomorrow!”. Menampilkan empat band lokal; Succubus, Swarm, Tantrum dan Wethepeople!, mereka sukses menyebarkan spirit perlawanan Dago Elos melalui musik berdistorsi.
Agus, salah seorang warga setempat yang selama 37 tahun lamanya hidup di Dago Elos turut menyatakan pandangannya mengenai beragam kegiatan yang selama ini digelar oleh Aliansi Dago Melawan. “Saya sebagai warga menyambut positif agenda yang diadakan Dago Melawan, seperti saat ini kegiatan mewarnai untuk anak-anak baik untuk mereka agar tidak terpengaruh dampak psikis karena kisruh isu sengketa tanah ini”, ucap Agus.
Saat ini, sengketa tanah yang mengancam ruang hidup warga Dago Elos telah mencapai tahap PK atau peninjauan kembali. Peninjauan kembali adalah suatu upaya hukum yang dapat ditempuh oleh terpidana dalam suatu kasus hukum terhadap suatu putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap dalam sistem peradilan di Indonesia.
Setelah berjuang hingga detik terakhir di tahap kasasi, warga Dago Elos akhirnya menang di pengadilan usai Mahkamah Agung menyatakan Keluarga Muller dan PT. Dago Inti Graha tidak memiliki bukti yang cukup kuat untuk mengklaim tanah Dago Elos adalah milik mereka. Akhirnya diputuskan bahwa tanah tersebut merupakan prioritas penuh warga.
Kemenangan tersebut titik lega bagi warga setelah bertahun-tahun memperjuangkan ruang hidup mereka. Namun enam bulan kemudian, ketika Keluarga Muller dan PT. Dago Inti Graha mengajukan peninjauan kembali, Aliansi Dago Melawan dan warga setempat merespons janggal upaya tersebut karena bukti baru yang diajukan terpidana terbilang menempuh waktu yang cepat. Mereka curiga akan adanya mafia peradilan yang terlibat dalam kasus ini.
“Kami merespon heran peninjauan kembali itu. Karena bukti baru yang diajukan Keluarga Muller dan PT. Dago Inti Graha ditempuh dalam waktu yang cepat, dan tidak sesuai dengan masa tenggang”, ucap Babaw yang nampak gusar. “Kita dan warga pun sontak kaget karena putusan tersebut, hingga akhirnya kita berembuk, dan dari situ pula diksi ‘sabubukna!’ itu muncul”, sambungnya.
Babaw pun memperingatkan untuk tetap menjaga solidaritas di sektor internal, karena masalah yang muncul di dalam barisan adalah masalah yang dapat dengan mudah melunturkan solidaritas ketimbang masalah yang terjadi di sektor eksternal. Dengan begitu, ia menginginkan gerakan perlawanan aliansinya dengan warga agar terus menjaga solidaritas dan rutinitas aktivasi ruang hidup.
“Dan saya harap, lebih banyak lagi masyarakat yang melek terhadap isu sengketa tanah ini, namun bukan berarti isu yang lain tidak penting, tapi ketika isu itu dampaknya terhadap orang banyak apalagi menyangkut ruang hidup, saya rasa isu tersebut sudah luar biasa dampaknya” sambung Babaw tentang harapannya.
Agenda yang dicanangkan Dago Melawan yang kali ini berkolaborasi dengan Burn the Flowers berlangsung sukses dan kembali mendapat respon positif dari warga setempat. Workshop mewarnai untuk anak-anak, mural bertuliskan “sabubukna!” hingga pagelaran Singa Depok dengan Balebat Pakidulan sebagai penutup acara merupakan salah satu dari sekian banyak aksi yang selama ini tercipta di Dago Elos, semata-mata agar sikap perlawanan warga yang terancam haknya tidak luntur.
Agus sebagai warga yang terbilang cukup lama bermukim di Dago Elos membagikan harapannya, “Ya, harapan saya ke depannya supaya hal seperti ini tidak terjadi lagi, di manapun, dan kepada siapapun”, ujar Agus. Harapan yang sebetulnya mulia, mengingat dirinya telah merasakan pahitnya sengketa tanah yang telah lama bergulir ini. Agus dengan ketegaran hatinya, berharap apa yang dialaminya tidak terjadi kembali di kemudian hari. Dengan kata lain, Agus tak mau ada yang bernasib sama dengannya.
Pun dengan harapan yang dipegang erat Fland, Babaw, dan juga Agus adalah harapan yang harus diamini oleh seluruh masyarakat. Hal yang dialami warga Dago Elos, bisa terjadi pada siapa saja dan dimana saja. Apa yang diperjuangkan oleh mereka sekarangmerupakan hak yang idealnya dimiliki mereka. Meski jalur hukum dirasa sudah tidak mungkin, perlawanan harus tetap diserukan. Kepalan tangan harus tetap menghadap langit, dan barisan solidaritas harus tetap kokoh sampai ‘bubuk’ sekalipun.
Editor: Hasbi Asdiqi