Melihat Wujud Punk Football di Indonesia, Melalui Pameran Foto Riverside Forest FC

“Karya-karya foto dalam satu musim klub sepak bola Riverside Forest FC dalam rangkaian Pameran Foto yang diselenggarakan oleh Birds Death Brigade dan Riverside Forest FC di Coffe Shop Dakar Jl. Bukit Pakar Utara, Kabupaten Bandung, Jum’at (15/4).“ Foto: Hasbi Asdiqi/KMJurnalistik.com

Pameran foto yang dihasilkan dari arsip satu musim Riverside Forest Football Club (FC) terpajang di sudut-sudut ruangan Coffe Shop Dakar Jl. Bukit Pakar Utara, Kabupaten Bandung, Jum’at (15/4). Karya visual yang dipamerkan ini dideklarasi oleh suporter Riverside Forest yakni Birds Death Brigade sebagai ajang apresiasi kepada klub yang telah berjuang selama satu musim. Riverside Forest adalah klub non-league yang berlaga di kompetisi amatir bergensi di Bandung yakni Bandung Champions League (BCL). Sebelumnya, Riverside Forest dipastikan naik kasta ke Liga 1 Bandung Premier League (BPL) saat laga kontra Baraya FC berkesudahan 3-0 untuk kemenangan Riverside.

Pameran Foto dengan tajuk “Chasing the Underdogs” menghadirkan talkshow, live painting dari penggiat seni grafiti dan juga pemutaran film dokumenter rekam jejak klub antah berantah Riverside selama satu musim. Ajang apresiasi dari Birds Death Brigade untuk Riverside, pengurus tim, penggawa tim, suporter dan elemen media yang terus mendukung keberlangsungan Riverside hingga kancahnya naik kasta, arsip foto yang dipamerkan menjadi rekam jejak Riverside Forest berdiri atas nama suporter dan untuk suporter dan “football without fans is nothing”.

Riverside Forest terbentuk dengan persiapan yang mendadak tanpa harapan yang melambung, klub ini dibentuk atas dasar suporter yang telah jemu dengan sepak bola industrial modern. Karena sejatinya sepak bola adalah olahraga yang bisa dinikmati dengan mudah oleh setiap kalangan dengan kebebasan yang berbatas. Riverside membuat muara yang dihendaki untuk merawat tradisi budaya sepak bola klasik.

Menyusul terbentuknya Birds Death Brigade adalah bentuk dari satuan tongkrongan suporter persib, dengan mengusung nama Birds Death Brigade merupakan buah pikir dari referensi band asal Moscow dan sedikit menjengkelkannya lagi satuan suporter ini dinamai Birds Deat Brigade hanya ingin mengikut tren ‘keren’ dari terbentuknya Riverside Forest itu sendiri. Pameran ini menjadi kampanye tersendiri bahwa Riverside juga menghadirkan ruang bagi lini-lini lain dari sepak bola seperti penggiat foto, penggiat seni desain, grafiti, dan sektor media yang bisa menjadi alternatif bagi ajang perayaan sepak bola klasik.

Kalimat pembuka dari Akbar Rafsanjani selaku MC “Terima kasih kepada pemain, suporter yang sudah mendukung Riverside dari tim antah berantah hingga berkembang menjelma hal yang patut dihargai di kalangan masyarakat, tidak begitu muluk-muluk untuk harapan yang perlu diraih karena yang juara sudah pasti klub PSG dan Juventus” disampaikan dengan penuh gelak tawa oleh Jebo sapaan akrab Akbar, selaku pengurus tim dari Riverside.

Talkshow dalam pameran ini dihadiri oleh Zen RS perwakilan Pandit Football, Riobie Oo Shamroog selaku direktur Riverside, Ghifran selaku kapten tim Riverside, Randi Ntenk figur Football Madness, dan Yusuf Kahfi selaku koordinator suporter Birds Death Brigade.

Menilik kembali bagaimana sepak bola menjadi olahraga yang digandrungi segala kalangan masyarakat. Zen RS, perwakilan Pandit Football, menjelaskan sepak bola merupakan olahraga yang sangat mudah untuk dimainkan dan digemari oleh masyarakat.

“Pelaut Inggris yang menjadi alasan terkuat mengapa sepak bola bisa menyebar luas dengan pelayarannya ke benua Afrika, Amerika dan Asia, disamping sepak bola adalah olahraga yang sangat mudah dienyam, praktis bermodal kaki, dan bola. Yang bisa dibuat dari kertas atau apapun yang berbentuk bulat. Dengan sepak bola hadir yang patut menghiasi ajang perayaan segala hal pada masa itu.” Ungkap Zen Rs.

Pemain yang bermain di Riverside ini sebagian besar berasal dari suporter, yang memiliki hasrat untuk menjadi pemain profesional. Riverside ini menjadi wadah bagi setiap pemain yang ingin mendapat label pemain profesional. Animo dan antusias suporter yang begitu mengguncang hati membuat para pemain termotivasi untuk memberikan sesuatu yang lebih untuk para suporter.

Yusuf, Koordinator suporter Birds Death Brigade, menjelaskan bahwa mendukung tim sepak bola harus ada batasan yang perlu dihormati selama laga berlangsung. Ketika berakhirnya laga pertandingan seluruh suporter harus memberi penghormatan setinggi-tingginya kepada tim lawan.

“Riverside memberi kebebasan bagi para suporter, rivalitas hanya berlaku selama 90 menit setelah itu merupakan sikap suportif suporter yang benar-benar mencintai sepak bola. Tidak hanya fanatik kepada Riverside yang menjadikan bukti bahwa perlu disematkan bentuk penghormatan bagi lawan dengan cara foto bersama dan merayakan sepak bola bersama” Jelas Yusuf.

Klub berbasis kolektif suporter ini menjadi ikon yang berbeda dari klub sepak bola lainnya, menonton bola dan main bola itu menjadi perbedaan yang mendasar ketika sepak bola sudah menjadi industri yang canggih seperti saat ini, sepak bola terkikis oleh modernisasi industri global ketika manusia kini semakin berpendidikan serta merubah segala hal menjadi industri dengan label modern. Riverside menyuguhkan menonton sepak bola yang sederhana, ketika semua kalangan laki-laki dan perempuan memiliki mimpi basah untuk menjadi pemain sepakbola.

“Bentuk hormat tertinggi ketika bermain bola adalah dengan bermain keras, bukan kasar dan provokasi. Kehadiran lawan sangat penting dalam sebuah pertandingan sepakbola, karena jika tidak ada lawan tidak ada pertandingan sepak bola dan tidak ada suporter. Dalam sepak bola, lawan itu hal yang mendasar, dengan respect, bermain keras, dan brutal itu menjadi bentuk hormat tertinggi kepada lawan dalam konteks rule of the game. Dalam sepak bola bukanlah musuh yang perlu dihancurkan, semua hanya lawan.” tambah Zen Rs.

Zen menambahkan, bahwa sepak bola Indonesia seharusnya menjadi hal yang bisa disegani oleh orang lain karena sepak bola Indonesia masih orisinil, brutal dan ‘main bola’. fenomena kultural sepak bola sangat menyenangkan untuk disaksikan, sorak-sorai penggemar sepak bola terlihat ketika bus penggawa tim melenggang ke daerah warga setempat, seperti sejarah prajurit perang Roma melewati kawasan tempat tinggal warga setempat yang disambut meriah oleh warga setempat. Itu menjadi sebuah fenomena kultural yang tidak bisa disaksikan warga setempat Manchester, Liverpool dan Barcelona saat ini.

Salah satu kata bahasa sunda yang menjadi pioneer adalah ‘bebaskeun’ yang juga mengacu pada prinsip punk football. Kebebasan yang perlu ditegaskan oleh prinsip-prisnip batasan yang ada, karena sejatinya sepak bola memberi tempat pada naluri supremasi purba, sepak bola menjadi hal spiritual untuk menjadi manusia seutuhnya. Sepak bola memungkinkan segala hal, ekspresi dan emosi bisa terluapkan begitupun kesetia kawanan dan kesetaraan yang membungkus batas-batas yang ada dalam kebebasan egetalirian menjadi prinsip dasar yang perlu dipatuhi demi menoton Riverside. “Spirit Punk sangat menjanjikan untuk dapat beriringan dengan budaya sepak bola, budaya kolektif punk bisa disandingkan dengan sepak bola, terasa sangat sah untuk disandingkan dengan sepak bola, sepak bola itu dalam dasar nya sudah melingkupi punk itu sendiri yaitu anti seksis dan anti rasis. Tidak dilihat dari tampilan punk secara objektif yang begitu nyentrik” ujar Randy Ntenk.

“Laporan keuangan menjadi bukti konkrit dari kesetaraan egitalirian, mengutip ucapan Linggo bapak punk Jawa Barat, akhir dari seorang punk bukan menjadi rockstar, ketika berbaur kepada setiap orang dan bersosialisasi itu menjadi hal yang patut dilabeli menjadi akhir setiap punk. kata Ntenk.

Riobie Oo Shamroog, Direktur Riverside, memberikan harapan bahwa Riverside Forst FC untuk bisa terus bertahan di liga amatir BPL. “Bertahan di BPL, forever underdogs, tanpa muluk-muluk, yang penting tidak menjadi bulan bulanan permainan. Tetap menggaungkan kampanye-kampanye dari sosial media maupun saat match. Aspirasi dalam aksi sosial tetap disuarakan, naiknya kancah kasta bagi Riverside mempengaruhi aksi-aksi sosial yang terus disuarakan akan menyita perhatian orang banyak” pungkas Shamroog.

Teks Oleh: Hasbi Asdiqi
Editor: Helmy Adam
dan Dimas Rachmatsyah