Konflik Wadas Tak Kunjung Usai, LBH Yogyakarta: Tidak Ada Itikad Baik dari Pemerintah

Kondisi pada saat adanya gangguan di zoom meeting” Foto: Riko Pinanggit/ KMJurnalistik.com via twitter @_Rarazahraa

Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI), Dewan Kota Yogyakarta, mengadakan diskusi secara virtual melalui Zoom Meeting, Minggu (9/1). Acarayang bertajuk “Seperti Dendam Wadas Harus Dikawal Tuntas” ini berkaitan sepuluh karya Jurnalistik pers mahasiswa di Yogyakarta berkaitan konflik di Wadas.

Sepuluh karya Jurnalistik yang diproduksi dari sejumlah pers mahasiswa di Yogyakarta ini, dimentori oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI). Karya-karya yang disajikan merupakan hasil dokumenter dari konflik-konflik yang ada di daerah Wadas. Hal ini juga berkaitan dengan mempertegas kedudukan pers mahasiswa sebagai penyambung lidah masyarakat, masyarakat yang tertindas, serta sebagai media alternatif.

Dhanil Al Ghifary, Staf Divisi Kampanye dan Jaringan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta, menjelaskan bahwa konflik yang terjadi di Wadas, bermula semenjak Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo, menerbitkan Izin Penetapan Lokasi untuk pembangunan Bendungan Bener tahun 2018.

“Konflik bermula sejak gubernur Jateng Ganjar Pranowo menerbitkan Izin Penetapan Lokasi untuk pembangunan Bendungan Bener tahun 2018. Sampai saat  ini konflik di wadas masih terus berlangsung karena tidak ada itikad baik dari pemerintah khususnya gubernur jawa tengah untuk menyelesaikan konflik wadas. Gubernur Jawa Tengah justru memaksakan rencana pertambangan di wadas dengan dalih Proyek Strategis Nasional (PSN),” ungkap Dhanil saat diwawancarai melalui Whatsapp (9/1).

Pada diskusi yang digelar secara virtual ini, terdapat beragam permasalahan yang dikuak mulai dari Represifitas aparat kepolisian terhadap warga, teror yang dilakukan oleh pihak kepolisian, hingga bagaimana caranya mempertahankan hak untuk tidak diusir secara sewenang-wenang.

Dhanil, menambahkan bahwa pemerintah dianggap melanggar hak warga untuk tidak diusir secara sewenang-wenang. Ia juga mengatakan bahwa perusakan lingkungan di kawasan Wadas tidak seharusnya terjadi.

“Represifitas polisi terhadap warga yaitu melanggar hak untuk tidak mendapat tindak kekerasan, selanjutnya Teror oleh kepolisian sangat jelas sekali itu melanggar hak untuk hidup aman dan tentram. Selain itu juga pihak pemerintah melanggar Hak untuk tidak diusir secara sewenang-wenang. Terlebih lagi mereka merusak lingkungan, yang seharusnya menjaga lingkungan dengan baik,” lanjut Dhanil.

Dalam konflik-konflik yang dijelaskan oleh Dhanil, perwakilan LBH Yogyakarta, sudah jelas tercantum pada Undang-Undang Dasar (UUD) tahun 1945, Pasal 28 I UUD 1945 tentang represifitas aparat. Adapun butir yang menjelaskan pasal tersebut adalah:

1. Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak untuk kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.

2. Hak untuk bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan hak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu.

Selanjutnya, mengenai teror dari kepolisian yang melanggar hidup aman dan tentram tercantum pada pasal 28 G (1) UUD NRI Tahun 1945 menggariskan bahwa, “Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi.”

Lalu, soal Pemerintah yang melanggar mengusir warga secara sewenang-wenang terdapat pada Undang-undang tentang Kebebasan Memilih Tempat Tinggal Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (“UU HAM”) menegaskan “Setiap warga negara Indonesia berhak untuk secara bebas bergerak, berpindah, dan bertempat tinggal dalam wilayah negara Republik Indonesia.”

Warga Wadas yang menolak adanya penambangan dikawasan Wadas, memperhitungkan terjadinya kerusakan lingkungan akibat pengerukan tanah yang dilakukan pada aktivitas pertambangan di area tersebut. Terkait aktivitas pertambangan sebenarnya sudah tercantum dalam Undang-Undang (UU) No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang ditetapkan oleh pemerintah. Dalam Undang-Undang tersebut sudah menjamin kepastian hukum serta memberikan perlindungan terhadap hak setiap orang untuk mendapatkan lingkungan hidup yang baik serta lingkungan yang sehat sebagai bagian dari perlindungan terhadap ekosistem kehidupan.

Selain itu, ada banyak dampak lain dari kegiatan pertambangan terhadap lingkungan hidup seperti mudah terjadinya bencana longsor, kerusakan hutan, penurunan kualitas udara dan kualitas air, hingga pencemaran lingkungan akibat limbah pertambangan.

Moderator dalam acara diskusi yakni Adil, mengatakan bahwa penolakan warga terhadap aktivitas penambangan di Wadas sudah sampai tingkat Mahkamah Agung (MA) tetapi belum ada tanggapan serius dari pihak MA.

“Pemerintah tetap kekeh untuk melakukan penambangan meski oleh warga ditolak keras sejak awal. Bahkan upaya penolakan warga Wadas pun juga sudah sampai ke Mahkamah Agung tapi tidak pernah diindahkan,” ujar Adil.

Dalam acara itu terjadi hal yang tak terduga, kejadian tersebut cukup membuat gaduh para peserta yang hadir. Terdapat beberapa akun yang masuk kedalam diskusi dan melakukan penyerangan dengan mencoba share screen dengan menampilkan coretan kata-kata tidak pantas bahkan sampai menunjukkan bagian intim yakni alat kelamin.

Panitia yang melihat kejadian itu, lantas dengan sigap menghentikan diskusi tersebut dan beralih untuk melanjutkannya secara Live Streaming di Youtube Persma Yogyakarta. Hal tersebut tidak diperkirakan oleh penyelenggara. Adil yang memandu jalannya diskusi pun cukup kaget dengan adanya kejadian tersebut. Menurutnya pihak penyelenggara memang kurang mengawasi potensi gangguan diluar diskusi yang dapat mengancam ketentraman keberlangsungan acara.

“Mungkin ini juga termasuk kelalaian panitia yang tidak mengawasi terhadap potensi serangan karena isu yang dibahas sangat sensitif dan berkaitan dengan konflik warga dan negara. Namun, bagaimana pun kejadiaan ini merupakan bentuk intimidasi dan upaya untuk menghalangi warga negara bercakap-cakap terhadap kondisi negara saat ini,” pungkas Adil.

Upaya-upaya dari warga yang telah dijabarkan secara rinci di diskusi kali ini sangatlah berharga bagi para warga yang masih bertahan. Warga Wadas yang menolak rencana pertambangan di wilayah Wadas ingin secapatnya persoalan segara berakhir. Agar tidak terjadi konflik baru dan pada ujung-ujungnya akan menjadi konflik yang terselesaikan.

Teks Oleh: Riko Pinanggit
Editor: Dimas Rachmatsyah