HAM Dipandang Sebelah Mata, Padahal Efeknya Nyata

“Ilustrasi Hari Hak Asasi Manusia (HAM) / https://www.carnegiecouncil.org

Oleh: Rifa Khairunnisa

Hak Asasi Manusia (HAM) merupakan hak alamiah yang dimiliki manusia sejak dilahirkan. Hak ini merupakan landasan untuk perlindungan harkat dan martabat setiap manusia sesuai dengan kodratnya. Dengan sifatnya yang mutlak dan universal, hak ini telah menjadi sesuatu yang diperlukan bagi masyarakat nasional maupun internasional. Tanggal 10 Desember pun dipilih menjadi hari peringatan HAM sedunia yang ditetapkan untuk menghormati hari di mana Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa mengadopsi Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia pada 10 Desember 1948.

Di Indonesia, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) merupakan lembaga yang mewadahi dan memberikan perlindungan mengenai HAM bagi seluruh rakyat Indonesia. Segala permasalahan dan kasus-kasus yang menyangkut HAM akan ditangani oleh Komnas HAM itu sendiri.

Pengaturan tentang hak asasi manusia pun sudah diatur dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi yang mencakup hak-hak bagi rakyat Indonesia, salah satunya seperti yang tertuang dalam pasal 4 berbunyi “Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dan persamaan dihadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun.”

Namun nahasnya, hingga saat ini pelanggaran HAM kerap terjadi. Bahkan kasus-kasus pelanggaran HAM di masa lalu pun masih belum menemukan titik terang, seperti kasus kematian Munir Said Thalib yang tewas karena diracun di dalam pesawat saat terbang dari Jakarta ke Amsterdam Belanda dengan racun jenis arsenik yang termasuk kedalam kasus pelanggaran HAM berat. Dengan lemahnya sistem hukum di Indonesia semakin membuat kasus-kasus pelanggaran HAM seperti ini akan terus bermunculan karena nyatanya tidak ada pula penuntasan terhadap kasus-kasus pelanggaran HAM di masa lalu.

Dilansir dari Kompas.com, Direktur Jenderal Hak Asasi Manusia (Ditjen HAM) Mualimin Abdi menyebut pada tahun 2021 ada sekitar 1.500 aduan terkait dugaan pelanggaran HAM. Hal ini menjadi bukti nyata bahwa masyarakat Indonesia masih mengabaikan dan melanggar hak asasi yang ada. Kurangnya kesadaran dan rasa saling menghormati atas nilai-nilai kemanusiaan menjadi faktor utama yang mengakibatkan terus terjadinya kasus-kasus pelanggaran HAM.

Terdapat pula bukti nyata kasus pelanggaran HAM yang terjadi akhir-akhir ini yaitu meninggalnya Novia Widyasari, seorang mahasiswi Universitas Brawijaya Malang yang bunuh diri karena mengalami pemerkosaan oleh kekasihnya yaitu Bripda Randy Bagus Hari Sasongko. Kabarnya Novia meminum sianida di samping makam ayahnya akibat depresi karena ia diminta untuk melakukan 2 kali aborsi dan mendapatkan kekerasan oleh kekasihnya. Hal ini tentu telah melanggar peraturan mengenai HAM yang tertuang pada Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 BAB III Hak Asasi Manusia dan Kebebasan Dasar Manusia pada bagian kedua mengenai hak berkeluarga dan melanjutkan keturunan.

Dilansir dari Merdeka.com bahwa Menurut Komisioner Komnas HAM, Beka Ulung Hapsara pun ada informasi bahwa Novia Widyasari pernah membuat laporan kepada Propam namun ternyata laporan tersebut ditolak oleh pihak kepolisian. Hal ini menunjukan bahwa memang proses hukum di negara ini sangat bobrok dan tidak dijalankan dengan semestinya. Apakah seseorang harus mengakhiri hidupnya terlebih dahulu agar kasus yang diderita akan diterima dan diselidiki? Sungguh kejinya negeri ini. Bahkan pelaku kekerasan tersebut adalah seorang polisi yang semestinya dapat melindungi dan mengayomi masyarakat.

Bukti nyata lainnya, salah satu pegawai Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) yaitu MS, diduga mengalami pelecehan seksual oleh rekan kerjanya. Ia dilecehkan beramai-ramai dengan ditelanjangi dan mereka mencorat-coret buah zakar korban memakai spidol lalu mendokumentasikannya. Hal tersebut tentunya membuat korban merasa terhina dan trauma berat. Mengapa bisa pelecehan kejam seperti ini terjadi di lingkup KPI?

MS sebagai korban sudah berkali kali melaporkan kasus ini. Pada tahun 2017, 2019 dan di tahun 2020 ia sempat membuat laporan ke pihak kepolisian dan nyatanya tidak dianggap serius dan tidak di tindaklanjuti. Akhirnya ia memutuskan untuk membuat surat terbuka hingga kasusnya viral. Setelah banyak mendapat dukungan akhirnya korban memberanikan diri lagi untuk melapor di tahun 2021. Setelah mengetahui permasalahan ini, para pegawai dan atasan korban yang berada di jajaran KPI malah melakukan intervensi yang mendesak korban untuk berdamai demi keberlangsungan diri korban di KPI. Dimana hati nurani mereka yang malah meminta untuk berdamai? Sudah jelas bahwa pegawainya tersebut mengalami pelecehan seksual dan hal ini sudah benar-benar melanggar HAM. Ironinya, korban diberi surat penertiban dan malah dinonaktifkan sebagai pegawai KPI.

Pemberhentian tersebut tidak disampaikan secara jelas kepada korban. Sangat disayangkan, sikap yang dilakukan oleh KPI sangat buruk. Sebuah lembaga besar di negara ini yang ternyata orang-orang didalamnya masih belum bisa menjunjung nilai-nilai kemanusiaan. Dan hingga saat ini, tak ada lagi perkembangan dari pihak kepolisian mengenai kasus yang dialami oleh MS tersebut.

Sudah sangat terbukti bahwa masih banyak masyarakat Indonesia yang mengenyampingkan perihal HAM karena dalam pelaksanaannya pun masih nol besar. Sudah menjadi tugas kita sebagai manusia khususnya sebagai masyarakat Indonesia untuk menjunjung dan menerapkan HAM, apalagi pemerintahan yang semestinya dapat memberikan contoh kepada masyarakat, bukan malah mencontohkan rasa tak acuh terhadap hak asasi. Dengan meningkatnya pemahaman masyarakat dan pemerintah mengenai HAM diharapkan pula dapat meminimalisir kasus-kasus pelanggaran HAM kedepannya.

Editor: Dimas Rachmatsyah