Tanggapi Konferensi COP26, Bandung Berisik Tuntut Penyelamatan Lingkungan Hidup di Jabar

“Seorang massa aksi menggunakan kostum Money Heist dalam melakukan aksi perubahan iklim di depan halaman Gedung Sate, Jalan Diponegoro, Jum’at (5/11). Aksi tersebut digelar untuk menyadarkan masyarakat terhadap bahaya krisis iklim.” Foto: Dimas Rachmatsyah/KMJurnalistik.com

Menanggapi konferensi perubahan iklim COP26 yang dihelat di Glasgow, Skotlandia, Bandung Berisik (Bersatu Selamatkan Iklim) yang merupakan gabungan pegiat lingkungan hidup, mahasiswa, mapala, dan berbagai komunitas lainnya, menuntut penyelamatan dan perlindungan lingkungan hidup serta masyarakat di Jawa Barat.           

Hal tersebut diutarakan Bandung Berisik dengan membawa spanduk serta payung-payung yang bertuliskan sejumlah tuntutan didepan halaman Gedung Sate, Jalan Diponegoro, Bandung, Jum’at, (5/11).

Selain menuntut penyelamatan lingkungan hidup di Jabar, mereka mendesak Pemerintah Provinsi Jawa Barat untuk meninjau kembali segala bentuk aktivitas pembangunan yang merusak lingkungan serta menyengsarakan rakyat. Selain berkontribusi menghasilkan emisi yang berujung terhadap perubahan iklim  

Dikutip dari keterangan resmi aksi, Pengkampanye Urban Walhi Jawa Barat, Klistjart, menyatakan bahwa terganggunya eksosistem perairan laut utara Jawa Barat disebabkan oleh PLTU (Pembangkit Listrik Tenaga Uap) batu bara.

“PLTU batu bara merupakan salah satu penyumbang emisi paling besar dan pencemar dari proses pembakaran batu bara yang asapnya dilepas ke udara. Limbah air panas bekas pendingin dan kerja pembangkit dibuang ke perairan laut. Sehingga, menggangu eksosistem pesisir dan laut utara Jawa Barat. Di tataran tapak, alih fungsi lahan akibat pembangunan PLTU batu bara merampas mata pencaharian dan membuat suram masa depan para buruh tani,petambak garam, dan nelayan kecil.” Ungkap Klisjart.    

Dalam catatan WALHI Jabar, sudah ada empat PLTU batu bara di pesisir utara dan satu di pesisir selatan Jawa Barat. Jumlah itu masih akan bertambah tiga lagi di pesisir utara. Adapun, nilai indeks kualitas lingkungan hidup Provinsi Jawa Barat sebesar 61,59 poin, berada di urutan empat terbawah dari 33 provinsi.           

Senada dengan pernyataan Klisjart, Amel, seorang relawan dari Solar Generation mengatakan bahwa seharusnya pemerintah menangani terlebih dahulu permasalahan abrasi dan banjir rob yang akan dijadikan lokasi pembangunan PLTU.

“Di Bekasi akan dibangun PLTU, tetapi permasalahannya adalah di Bekasi sudah mengalami abrasi dan banjir rob, Ini pemerintah harus tangani dulu daripada membangun PLTU. Kalau permukaan air laut meningkat bagaimana kesannya malah kita seperti membuang uang.” Ujar Amel.

Sementara itu, Arya Pramudita, perwakilan Extinction Rebellion Bandung, mengatakan bahwa konferensi perubahan iklim COP26 telah gagal karena masih terjadi peningkatan emisi.

“COP26 adalah kisah janji yang diingkari, keserakahan yang sembrono, dan kegagalan luar biasa yang membentang sejak COP pertama kali diselenggarakan.  25 pertemuan telah gagal mencegah kita menuju bencana kerena emisi terus meningkat.” Ujar Pram.

Pram menambahkan, bahwa krisis iklim itu nyata dan bukanlah fiksi, masyarakat haruslah sadar bahwa mulailah bertindak dari sekarang untuk menciptakan balai masyarakat yang sadar akan pola hidup yang tidak merusak lingkungan.  

Teks Oleh: Dimas Rachmatsyah
Editor: Dimas Rachmatsyah