Rendahnya Ruang Terbuka Hijau, Tanda Krisis Lingkungan di Kota Bandung

Proyek Pembangunan Rumah Deret Tamansari ditengah daerah
resapan air, Minggu (28/11).” Foto: Muhamad Febry/KMJurnalistik.com

Oleh: Muhamad Febry

Musim penghujan sudah mulai datang dan membasahi kota Bandung, salah satu permasalahan klasik yang tidak pernah hilang pada musim hujan adalah banjir. Bandung merupakan sebuah kawasan yang berada pada cekungan yang diapit oleh gunung disekitarnya ini yang kemungkinan menjadi salah satu alasan mengapa Bandung dan bencana banjir seakan tidak pernah lepas satu sama lainnya.

Menyalahkan letak geografis untuk sebuah permasalahan sebenarnya tidak dibenarkan sama saja seperti mengatakan bahwa Pulau Kalimantan tidak akan terkena banjir karena banyaknya daerah resapan air di sana. Tetapi yang seharusnya dicermati adalah bagaimana kondisi yang ada di daerah tersebut. Bandung kini yang sebegitu metropolitannya, harus menghadapi masalah pada Ruang Terbuka Hijau (RTH) yang turut pula menjadi daerah resapan air serta sebagai penyejuk suasana perkotaan yang kini kurang pepohonan.

Apakah RTH di kota Bandung khususnya sudah atau menuju memadai? Sayangnya belum sama sekali. Menurut data yang diperoleh pada tahun 2020 yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik (BPS) kota Bandung, hanya ada sekitar 12,25 persen luas RTH di kota Bandung atau tepatnya 2 048,97 hektar kawasan RTH dari total 16.730 hektar luas kota Bandung.

Memangnya berapa minimal luas Ruang Terbuka Hijau menurut aturan yang berlaku? Jika menelisik pada Undang-Undang (UU) No.26 Tahun 2007 mengenai Penataan Ruang, disebutkan pada pasal 29 ayat 2 yakni “Proporsi ruang terbuka hijau pada wilayah kota paling sedikit 30 (tiga puluh) persen dari luas wilayah kota.”, serta pada ayat 3 yang berbunyi “Proporsi ruang terbuka hijau publik pada wilayah kota paling sedikit 20 persen dari luas wilayah kota.”.

Seperti yang sudah dimaksud pada UU di atas, bahwa minimal luas Ruang Terbuka Hijau adalah 30 persen dari total luas wilayah kota, dalam total 30 persen tersebut terdapat 20 persen Ruang Terbuka Hijau Publik serta sisanya 10 persen adalah Ruang Terbuka Hijau Privat (tersendiri). Apa yang sudah diatur dalam UU tersebut hingga kini pelaksanaannya masih sangat jauh dibawah harapan khususnya pada kota Bandung.

Ruang Terbuka Hijau sendiri utamanya berfungsi sebagai sarana ekologis, yakni sebagai penyeimbang lingkungan perkotaan yang penuh dengan polusi kendaraan bermotor. Mungkin kita pernah mengingat pelajaran biologi saat sekolah dasar mengenai karbon monoksida serta berbagai limbah udara dapat diserap oleh tumbuhan untuk didaur ulang menjadi oksigen, itulah salah satu bentuk mekanisme pentingnya Ruang Terbuka Hijau.

Manfaat Ruang Terbuka Hijau

Selain sebagai penyeimbang, tentunya RTH menjadi sumber pencegahan banjir yang semakin menggila belakangan ini. Namun sayang kondisi hulu yang sudah dibabat oleh kawasan perumahan serta berbagai proyek pembangunan gedung-gedung hotel menjadikannya sudah tidak efektif lagi sebagai penyerap air hujan, selain itu rendahnya kawasan sempadan sungai menjadikan air semakin tidak terserap dan akibatnya tumpah ruah membanjiri daratan perkotaan di hilir sungai.

Kawasan Dago, Awiligar, serta daerah utara lainnya yang seharusnya penuh dengan vegetasi tumbuhan kini sudah sangat memperihatinkan. Pembangunan perumahan yang sangat masif mulai menghancurkan kawasan hijau di tempat tersebut, beton-beton yang tertanam semakin membuat tanah terbebani ditambah menghilangnya pepohonan sebagai penopang tanah membuat kans bencana seperti longsor dan banjir semakin besar. Jika bukan orang-orang tersebut yang terdampak, sudah barang tentu masyarakat di hilir lah yang paling terkena imbasnya.

Penggusuran perumahan padat penduduk yang dilakukan pun bukan menjadikannya sebagai RTH, akan tetapi malah melakukan pembangunan gedung tinggi nan besar yang semakin membuat kontur tanah rentan dan sangat mengurangi resapan air.

Hal lain yang cukup terdampak karena kurangnya RTH adalah rata-rata suhu kota Bandung yang dalam trennya sejak tahun 1975 hingga tahun 2020 silam, cenderung mengalami kenaikan yang begitu besar. Dalam data yang dimiliki Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) kota Bandung tercatat ada kenaikan suhu rata-rata pertahun sebesar 3 derajat celcius. Pada tahun 1975, suhu rata-rata hanya mencapai 22,6 derajat celsius, sementara pada 2020 tercatat sebesar 25,69 derajat celsius.

Salah satu dampak yang terasa adalah makin seringnya banjir menghampiri jantung tanah sunda ini. Semisal yakni banjir yang selalu hadir di daerah Baleendah ketika hujan deras terus-menerus. Bukan hanya di kawasan perumahan penduduk saja, bahkan hingga jalan arteri pun tidak luput dari terjangan banjir, masih ingat tentu ketika berita yang viral soal banjir yang menggenangi kawasan Pasteur tahun lalu hingga merendam tiga buah mobil.

Sekarang saja coba kita perhatikan semisal curah hujan sedang turun selama 3-4 jam, sudah dapat dikatakan akan ada kawasan yang tergenang seperti pasteur dan sukajadi. Bagaimana bila dengan intensitas besar hingga lima jam atau lebih? Hasil yang akan terjadi sudah barang tentu banjir dikawasan rendah Bandung seperti Pagarsih, Cikutra, hingga Gedebage.

Berbagai contoh kasus di atas, saya merasakan dampak banyaknya alih fungsi lahan karena sangat berkurangnya Ruang Terbuka Hijau di kota Bandung. Pembangunan memang baik untuk tetap berjalan untuk menyesuaikan kebutuhan suatu wilayah tersebut, tapi melakukan pembangunan tanpa melihat bagaimana nasib RTH kedepannya malah akan membuat wilayah ini semakin “hancur”.

Pertanyaannya adalah bagaimana tindakan yang tepat dalam mengurusi perihal RTH? Saya rasa cukup mudah, caranya adalah dengan melakukan pengetatan izin pembangunan utamanya di daerah Bandung Utara, serta melakukan penghijauan pada bangunan yang sudah tidak bertuan dan tidak terurus.

Memang RTH tidak serta merta mutlak sebagai langkah pencegahan berbagai permasalahan iklim di kota Bandung, tetapi setidaknya sebagai tindakan minimalisir untuk memperlambat perubahan iklim yang sedang terjadi. RTH juga dapat menjadi sarana untuk rekreasi warga yang murah meriah dan membutuhkan kesegaran udara tanpa perlu jauh-jauh pergi ke daerah pegunungan serta dapat menjadikannya tempat untuk perputaran roda ekonomi seperti yang ada di kawasan Taman Lansia.

Salah satu pekerjaan rumah bagi Pemerintah kota Bandung adalah untuk memenuhi angka minimal RTH yang masih sangat jauh dari ambang batas minimal. Hanya saja perkiraan kedepannya luas RTH malah akan semakin menyusut dengan banyaknya lahan yang dialihfungsikan menjadi bangunan utamanya perumahan dan pencakar langit.

Langkah penanaman pohon juga harus digiatkan, melansir Bandungbergerak.id Meiki W Paendong, Direktur Eksekutif Walhi Jawa Barat, mengatakan bahwa akan sia-sia saja apabila penambahan RTH tidak dibarengi dengan penanaman pohon untuk fungsi ekologis, oksigen, serta pelindung kontur area tanah jika RTH tersebut terletak pada kemiringan.

Kini hanya ada satu cara, pulihkan lingkungan yang sudah mulai rusak untuk pencegahan bencana atau hanya akan diam menunggu kehancuran itu datang menghampiri hingga anak cucu kita kelak tidak bisa merasakan bersih dan nikmatnya lingkungan alami.

Editor: Dimas Rachmatsyah