Sepasang Lansia yang Menua Bersama
“Foto: Kolase foto film You and i/Adrian Mulya”
Oleh: Riko Pinanggit
(Penulis adalah mahasiswa Jurnalistik 2019)
Kebanyakan orang pasti lebih menyukai film bergenre romance, action, comedy, horror dan lain sebagainya. Namun, apakah kalian tahu film dokumenter? mungkin rata-rata khalayak kurang tertarik dengan film dokumenter. Tetapi kali ini film dokumenter produksi Indonesia sangat berbeda dan bermakna. Film yang disutradarai oleh Fanny Khotimah berjudul “You and I” merupakan film yang bertemakan persahabatan, perjuangan, kesederhanaan dan peristiwa. Film dokumenter ini menarik untuk ditonton, karena tidak seperti film dokumenter kebanyakan yang memakai backsound, dalam film ini tidak ada unsur tersebut.
Kenaturalan percakapan dan suara-suara kecil pada keseharian seperti pada umumnya membuat film ini menjadi sangat unik dan anda akan terbawa suasana kedalam film tersebut. Melalui film ini Fanny Chotimah mampu menguras air mata penonton ia ingin menyuarakan suatu keadilan. Bahwa apa yang dialami Kasminah dan Kusdalini adalah bentuk ketidakadilan, yang mungkin dialami siapa saja.
Dalam film ini menceritakan dua perempuan yang dipertemukan di sebuah penjara pasca tragedi tahun 1965, lalu mereka memutuskan bersahabat hingga usia tua. Mereka bertemu di penjara, dimana 50 tahun lalu, saat banyak orang ditangkap tanpa diadili karena konflik politik di tahun 1965. Kasminah dan Kusdalini sebelumnya merupakan anggota paduan suara organisasi Pemuda Rakyat.
Walaupun You and I berlatar belakang politik, namun pada saat kita menonton justru unsur itu sama sekali tidak terasa. Kita akan lebih banyak disuguhi jalan cerita mengenai persahabatan yang terjalin antara Kusdalini dan Kasminah selama menjalani masa tua bersama. Film berdurasi 72 menit itu, hadir untuk mengingatkan kita akan pentingnya rasa kemanusiaan diatas stigma-stigma yang terbangun di tengah masyarakat. Film “You and I” menyuguhkan latar belakang keseharian Ksaminah dan Kusdalini dimana akibat politik pembantaian G30S membuat mereka hidup sangat sederhana bahkan sedikit kekurangan.
Film dokumenter ini hanya menampilkan sekilas latar masa lalu keduanya untuk memberi konteks pemahaman kepada penonton. Dalam alur ceritanya, film ini berfokus pada kehidupan sehari-hari Kasminah dan Kusdalini. Namun, jika ditilik lebih mendalam dan menontonnya dengan seksama kita akan melihat adegan keseharian mereka yang penuh makna. Apa yang disajikan bukan sekedar kehidupan sehari-hari yang membosankan. Tetapi mereka memperlihatkan bagaimana suatu kesederhanaan, kesetiaan, perhatian, kasih sayang, ketulusan, kedermawanan dan masih banyak lagi perbuatan baik yang mereka perlihatkan di film ini.
Kasminah dan Kusdalini hidup di rumah tua yang atapnya sudah rapuh. Pada film ini sangat melihatkan betapa kejamnya politik di tahun 1965, bagi mereka kekejaman politik zaman itu sangat amat terasa bahkan hingga sekarang masih terasa oleh mereka dimana mereka kesusahan ekonomi, pekerjaan, pendidikan, bahkan pasangan.
Dibawah rumah tua dua manula ini hidup sederhana dengan menggantungkan pendapatan kerupuk yang mereka jajakan kepada para tetangga. Kayu-kayu penyanggah atap yang mulai lapuk tak bisa menahan derasnya air hujan. Tak ayal beberapa perabotan dan pakaian dibuatnya basah. Bagi sebagian orang kehidupan yang mereka jalani mungkin jauh dari kata nyaman dan seakan kurang layak. Walaupun dalam kisahnya terlihat sederhana, mereka tetap hangat seperti mentari di pagi hari, kesederhanaan mereka tidak menjadikan alasan untuk tidak berbagi dengan yang lain. Dari film ini kita bisa belajar bahwa sekecil apapun yang kita berikan kepada sesama akan membuat hidup kita nyaman tentram dan damai.
Bisa saling membantu satu sama lain itu sangat indah, ketika kita membantu orang lain pasti banyak juga nanti orang yang akan membantu kita. Kesederhanaan dalam dirinya membuat penonton terheran-heran akan perbuatan mereka yang bisa saling mengasihi dengan tetangga, penonton akan berpikir seperti saya apa kita sudah bisa saling mengasihi dengan tetangga kita atau malah acuh tak memperhatikan lingkungan sendiri. Film ini pun mengisahkan betapa indahnya persahabatan, mungkin bisa dibilang persahabatan abadi dimana Kusdalini dan Kasminah telah memulai persahabatannya sejak mudah hingga kini mereka menua.
Mungkin yang bikin saya jatuh cinta pada film ini, tingkah laku mereka membuat kita seakan-akan masuk didalam keseharian mereka. Seperti mereka sedang menonton televisi, memotong kuku jari tangan, sesederhana itulah hal yang mereka perbuat. Tetapi membuat kita membayangkan bagaimana kalo kita berada ditempat mereka melihat romantismenya persahabatan Kusdalini dan Kasminah. Adapun kesedihan yang Nampak dalam Film ini, bahwa salah satu dari mereka terserang penyakit yaitu Kusdalini. Kasminah menyiapkan makan dan obat untuk Kusdalini, yang tubuhnya tak lagi kuat berjalan, juga mengurus rumah dan meladeni tetangga yang singgah. Sungguh film yang patut untuk ditonton oleh semua kalangan usia.
Sembari disuapi atau diolesi salep, Kusdalini sesekali bercakap tentang teman-temannya dulu, mimpinya semalam, apapun yang terlintas di pikirannya. Kasminah kadang menanggapi serius, kadang sekenanya, kadang diam saja sambil menatap Kusnaini dengan tulus. Begitu terus sampai Kusdalini masuk rumah sakit. Kasminah merawatnya dengan penuh kesabaran dan ketulusan sangat sangat terlihat dari wajahnya ketika ia memberi makan dan obat dengan penuh pandangan kasih sayangnya, membuat orang yang menonton iri. Romantisme persahabatan mereka melebihi film-film drama Korea, FTV dan lain- lain yang sedikit lebay. Kesederhanaan yang mereka perlihatkan membuat kita tersenyum-senyum.
Kasminah dan Kusdalini memiliki keuntungan karena dikelilingi oleh orang-orang yang baik. Ada tetangga yang sering mengantarkan makanan, ada tukang becak yang menolak dibayar saat mengantarkannya ke rumah sakit. Ada pula yang bergotong-royong memperbaiki atap rumah Kus. Terdapat adegan yang paling saya ingat dan sungguh menyentuh dimana setelah Kusdalini kembali dari rumah sakit Kusdalini melentangkan badannya di atas kasur. Kasminah yang duduk di sampingnya, menyuapi Kusdalini sambil mengusap air matanya yang sungguh-sungguh terlihat betapa eratnya persahabatan mereka yang hampir setengah abad.
Setelah adegan itu, terlihat ada alur cerita yang menyentuh dan termenung bagi para penonton, dimana terlihat kain samping yang menutupi seluruh bagian tubuh Kusdalini menggambarkan betapa bermaknanya pengambilan gambar dalam film tersebut. Terlihat juga bendera dari kertas wajit di depan rumah, seperti yang kita tahu tanda tersebut bisa dirasakan dalam cerita. Lalu,ada peti mati juga yang melambangkan kematian serta diakhiri dengan simbol nisan, tanah dan bunga tabur. Terlihat Kasminah yang begitu sedih ditinggalkan sahabat sejatinya pulang ke tempat yang lebih indah dan diakhir video sangat amat terasa makna kehilangan dimana Kasminah menjalani kesehariannya sendiri tanpa seseorang yang begitu berharga yaitu Kusdalini, dalam kisah itu terlihat bahwa tersirat sebuah ironi kehidupan.
Editor: Dimas Rachmatsyah