Menziarahi Barisan Nisan, Pemakaman Angkara Milik ‘Homicide’

Ilustrasi Foto oleh: Bikry Praditya

Oleh : Bikry Praditya

Unit hiphop asal Bandung, Homicide, kembali hadir meriuhkan media sosial. Bukan karena mereka reuni, atau perform di panggung ’17-an, tapi dengan dirilisnya kembali diskografi mereka bertajuk, ‘Homicide – Complete Discography’. Diskografi tersebut merupakan cetakan keempat dan merupakan rangkuman selama 13 tahun mereka berkarya dan berhasil melahirkan 33 lagu yang terangkum dalam dua keping cakram padat.

Diskografi ini menjadi kumpulan karya paling lengkap dari Homicide yang meliputi tiga album studio, satu album split, serta sejumlah single dan remix dari beragam kompilasi. Penjualan bundle ‘Homicide – Complete Discography’ dimulai dengan cara memesan melalui sistem pre-order di tanggal 2 Juli dan mulai didistribusikan pada tanggal 1 Agustus 2021.

Sebetulnya saya agak minder untuk menulis review album dari grup musik yang merchandisenya serupa berhala, menghiasi tiap lorong kampus, dan dijadikan ladang bisnis ala makelar. Namun, saya memberanikan diri mengulas semampu saya tentang unit hip-hop yang lagu-lagunya memaksa saya membuka KBBI, googling, dan tetap merasa bodoh.

Homicide adalah sebuah unit hiphop asal Bandung yang lahir di tahun 1994 dan bubar di tahun 2007. Selama perjalanannya, grup hiphop ini acap kali gonta-ganti personel, namun satu orang yang paling konsisten ialah Morgue Vanguard alias ‘Ucok’ Homicide yang mengampu beban sebagai MC, produser, dan juga beatmaker, ia juga yang menulis mayoritas lagu-lagu dari Homicide.

Adalah Boombox Monger’, single dalam album Godzkiklla Necronometry yang menjadi titik didih angkara milik Homicide yang dimanifestasikan ke dalam sekumpulan rima dan bait kata padat  selama 4 menit 36 detik. Boombox Monger’merupakan obsesi dari Homicide yang ingin membuat lagu manifesto serupa ’Rebel With A Pause’ dalam versi yang lebih ekonomis.

Keseluruhan lagu dalam diskografi cetakan keempat ini telah melalui proses mastering ulang. Namun meskipun begitu, tetap saja ada kejomplangan yang terasa. Entah kebanyakan noise serta distorsi, atau banyak juga lirik padat dibacakan dalam satu helaan napas sehingga tiap penggal katanya tidak terdengar jelas, atau memang kualitas pendengaran saya saja yang sudah menurun, yang jelas kejomplangan itu terasa, membuat keseluruhan lagu terkesan tidak rapi.

Namun itulah dia, karena kita sedang mendengar dan membahas Homicide. Jika berharap komposisi musik yang lebih rapi, ada baiknya kita sematkan saja harapan itu pada Young Lex dan koloni youtubers culunnya, atau dengarkan saja pop “menye-menye ala Pamungkas dan Fiersa Besari. Case closed.

Sebetulnya, permasalahan seperti itu sudah dijawab penuh di lagu ‘Semiotika Rajatega’, lewat ungkapannya di tulisan pengantar. Ucok mengatakan bahwa pada saat itu Homicide benar-benar ingin melampaui semua hal konvensional yang melekat dalam musik, khususnya musik hiphop, bahkan termasuk dalam hal penulisan rima dan struktur lagu.

Mengingat wawancara Cholil Mahmud di kanal YouTube Rolling Stone Indonesia, ia mengatakan bahwa lirik dalam lagu-lagu yang ditulis ‘Ucok’ sarat akan ilmu pengetahuan. Saya sendiri merupakan salah satu pendengar yang menganggap lagu-lagu Homicide merupakan gerbang alternatif bagi ilmu pengetahuan. Apalagi mengingat jenuhnya bangku kelas yang dipenuhi mahasiswa caper (cari perhatian), dosen yang sibuk jual kisah pribadi daripada materi, AC yang mati, bangku reyod (Ringkih), dan lain sebagainya.

Secara departemen lirik, formula sastra kelas atas yang dikawin silangkan dengan isu sensitif melahirkan pemikiran visioner, kombinasi mutakhir menerjang zaman. Misalnya lagu ‘Puritan’ yang bertemakan fasis-fasis yang sembunyi dibalik ketiak agama, lagu ini begitu menampar kurang lebih untuk isu 5 tahun terakhir. Namun siapa sangka, lagu ini rupanya ditulis di tahun 1999, jauh sebelum kita menyadari adanya kekuatan besar dibalik fundamentalisme agama itu sendiri.

Lirik-lirik provokatif yang dikombinasikan dengan hentakan judul-judul paripurna, seperti ‘Semiotika Rajatega’, ‘Belati Kalam Profan’, ‘Illsurrekshun’, atau ‘Tantang Tirani’, menjadikan lagu-lagu dari Homicide begitu gagah terdengar.

Perilisan cetakan keempat dari ‘Homicide – Complete Discography’ dibagi ke dalam dua paket, yang pertama berisikan CD dan poster berukuran 42cm x 72cm, dibanderol dengan harga Rp.100.000. Sementara untuk paket lainnya yang didalamnya terdapat CD, poster, dan kaos yang dibanderol seharga Rp. 250.000. Setiap paket sudah termasuk dengan booklet setebal 156 halaman untuk memantapkan perjalanan spiritual menziarahi barisan nisan pemakaman angkara milik Homicide.

Selain itu, booklet tersebut sangat-sangat berguna bagi kalian yang mungkin menganggap Homicide sebagai brand kaos gaul di kalangan mahasiswa. Seolah dengan memilikinya akan otomatis mendongkrak status sosial di tongkrongan. Tidak, tidak seperti itu jalan ceritanya.

Namun bagaimanapun juga, perlu diakui bahwa nama Homicide kian tenar justru setelah mereka bubar di tahun 2007 silam. Kinerja internet yang makin hari makin luar biasa, membuat Homicide menjadi episentrum bagi musik dengan premis serupa. Perilisan diskografi ini (Homicide) yang entah sampai kapan akan terus dirilis ulang, menjadi pemakaman sempurna dari unit hiphop ‘galak’ asal Bandung itu.

Lirik yang tak lekang oleh zaman, poster dan artwork yang membanjiri ingatan, serta suguhan dokumentasi foto-foto mereka ketika manggung dahulu. Membuat booklet dan keseluruhan komponen dalam diskografi ini semacam prasati yang menandai kedigdayaan grup musik hiphop ini.

Homicide memang telah mati, abu jenazahnya tersebar di mana-mana mulai dari cd, kaos, poster, dan lain sebagainya. Namun semangatnya, akan terus hidup bersama kombatan di tiap sudut kota, nyanyiannya akan selalu mengiringi hentakan lars Brimob di Senin pagi, dan tak lupa jadi instrumen bagi omong kosong para pejabat.

Homicide adalah martir dalam membangun kembali godam dari reruntuhan dan berangkal harapan, keyakinannya menyaingi semua manual langitan. Homicide telah lama mati, namun semangatnya abadi, serupa kobaran api.   

Editor: Dimas Rachmatsyah