Mengkritisi Sosial melalui Seni Jalanan : “Ini Namanya Vandalisme!”
Foto: Kolase berbagai karya visual jalanan. (Iska Nur Indira Dewi)
Oleh : Iska Nur Indira Dewi
(Penulis adalah mahasiswa Jurnalistik 2019)
Mural, graffiti, poster yang terpampang di jalan raya bukan menjadi hal yang baru bagi masyarakat. Karya seni alternatif ini disebut juga sebagai street art atau seni jalanan. Seni jalanan merupakan sebuah hasil karya seni yang dibuat di ruang publik. Seni jalanan ini merepresentasikan bagaimana cara berkomunikasi dengan memanfaatkan ruang publik sebagai medianya.
Beberapa waktu lalu media sosial diramaikan dengan sebuah seni jalanan yang dikemas dalam bentuk mural di Kabupaten Pasuruan yang bertuliskan “Dipaksa Sehat di Negara Yang Sakit”. Hasil karya seni ini dihapus oleh pihak berwenang, yakni Satpol PP Kabupaten Pasuruan. Dikutip dari CNN Indonesia, ketua Satpol (Satuan Polisi) PP (Pamung Praja) Kabupaten Pasuruan, Bakti Jati Permana mengatakan bahwa mural itu dihapus karena telah melanggar Pasal 19 Peraturan Daerah Kabupaten Pasuruan Nomor 2 Tahun 2017 tentang Ketertiban Umum dan Ketentraman. Ia pun mengatakan bahwa hasil karya itu dianggap memprovokasi dan menghasut masyarakat setempat, sehingga ditakutkan menimbulkan multitafsir.
Sementara itu, tagar #MuralkanIndonesia sempat mencuat dan menjadi trending di platform Twitter. Berawal dari tersebarnya berita mural yang dihapus oleh pihak petugas setempat, membuat tagar Muralkan Indonesia semakin mencuat. Cuitan warganet yang berisi tentang penolakan untuk menghapus mural kian kentara. Hal tersebut dilakukan demi menyerukan agar para seniman jalanan dan masyarakat bisa bebas berekspresi melalui mural, baik di ruang publik ataupun di ruang khusus.
Aksi warganet yang berlomba-lomba untuk mengunggah mural yang mereka temukan semakin membuat para seniman tergerak untuk berpartisipasi ikut meramaikan seperti yang terjadi di Bandung ketika mural dengan wajah seseorang menutup matanya menggunakan masker seperti “Jokowi” terpampang di bawah jalan layang pasupati di Bandung.
Kebebasan berekspresi melalui seni bukanlah hal yang asing, media ini menjadi daya tarik bagi orang-orang untuk mengutarakan perasaannya. Baik melalui musik, teatrikal, tarian, gambar dan visual, semua orang bisa bebas untuk mengekspresikan dirinya dan pemikirannya. UNESCO (United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization) mengungkapkan bahwa artistic freedom (kebebasan artistik) merupakan kebebasan untuk berimajinasi, menciptakan, mendistribusikan ekspresi budaya yang bebas dari sensor pemerintah, campur tangan politik atau tekanan dari aktor-aktor non negara.
Di Indonesia sendiri mengkritisi keadaan politik sosial melalui seni masihlah menjadi hal yang tabu. Mulai dari masa reformasi, seorang musisi legenda Iwan Fals selalu menyentil keadaan pemerintahan dengan lagu-lagunya yang nyentrik. Kemudian, sastrawan Wiji Thukul selalu mengungkapkan gagasannya melalui puisi-puisi yang disampaikan melalui seni retorikanya yang terlampau berani. Hal ini menunjukkan bahwa Indonesia seharusnya sudah terbiasa dengan kritik-kritik yang ada.
Namun kenapa pemerintah sekarang tampaknya ketar-ketir dengan goresan di tembok yang ada di ruang publik? Fenomena penghapusan mural ini menarik perhatian dari LBH (Lembaga Bantuan Hukum) Jakarta untuk mengadakan suatu diskusi terbuka secara online dengan mengangkat tema “Mural dan Intimidasi” pada 24 Agustus lalu yang dilaksanakan lewat Zoom dan live di kanal Youtube LBH Jakarta. Diskusi publik ini membahas mengenai dasar hukum hak berekspresi, batasan dalam hak bereskpresi, dan juga hak atas bantuan yang dilihat dari kacamata (segi) hukum.
Oky Wiratama, seorang pengacara publik LBH Jakarta menjelaskan bahwa ada beberapa batasan dalam mengekspresikan suatu hak, yang paling utama adalah terkait konten yang tidak ada muatan diskriminasi ataupun isu sara.
“Ada batasan dalam berekspresi, yang paling pertama adalah tanpa ada konten bermuatan diskriminasi sara, yang kedua ada batasan terkait dengan melindungi nama baik orang lain dan ketertiban umum. Namun, di sini nama baik orang lain itu individu ya, bukan melekat sebagai pejabat publik atau pemerintah ya. Dan yang ketiga tidak memuat unsur kesusilaan atau bertentangan dengan nilai moral,” Jelas Oky saat melalukan pemaparan diskusi online LBH Jakarta secara online.
Oky pun menambahkan bahwa dasar hukum atas hak berekspresi didukung oleh suatu instrumen internasional, regional, maupun nasional. Dalam konteks instrumen nasional, kebebasan berekspresi tertuang dalam UUD (Undang-Undang Dasar) tahun 1945 pada pasal 28 F, pasal 28 E ayat (3), UU HAM No 39/1999, dan UU No 5/2017 tentang Pemajuan Kebudayaan yang menjadi pedoman untuk memberikan hak atau ruang berekspresi bagi masyarakat.
Seni jalanan di Indonesia memang sejatinya telah populer dikalangan masyarakat. Hal tersebut bisa dilihat dari berbagai mural, graffiti, dan stensil yang seringkali kita lihat di sudut-sudut tembok kosong jalan raya dan gang sempit. Seni mural yang dianggap hal yang unik dan terkesan aneh dikalangan masyarakat seperti mural bertuliskan “Ku Kira Kau Alien” bahkan mural dengan mengangkat tema isu sosial, seperti mural dengan gambar yang mirip dengan wajah “Jokowi” dengan bagian mata yang diganti dengan tulisan “404 : Not Found”. Mural itu kemudian menjadi polemik ketika, kemudian dihapus oleh pihak berwenang karena diduga menyentil kinerja presiden Jokowi selama dua periode ini.
Selain itu, fenomena seni jalanan mural atau sejenisnya mulai marak diakui di berbagai platform media sosial. Seperti yang dilakukan oleh sebuah akun instagram @visual.jalanan dan akun instagram (@graffiti.id). Tak hanya itu, munculnya seniman jalanan seperti Terorski, Budi Cole, Miranda, dan berbagai komunitas seni jalanan. Menunjukkan bahwa visual art (seni jalanan) telah lama hidup di Indonesia.
Bahkan di tahun 2015, enam orang perempuan memajang karya mural miliknya di Gudang Sarinah serta di beberapa ruang publik di Jakarta seperti Jakarta Bienalle. Para seniman itu mengangkat tema acara “Maju Kena Mundur Kena : Bertindak Sekarang”. Hal itu membuktikan sebenarnya mural adalah identitas yang sudah lama hinggap di Indonesia.
Seni jalanan seharusnya bukan menjadi musuh untuk pemerintah. Mengapa begitu? Para seniman jalanan ini secara sukarela tanpa dibayar, menghiasi ruang publik dengan menghasilkan karya visual yang menawan dan tentunya tidak asal-asalan. Kemudian juga, mural muka bapak atau ibu yang duduk di “kursi atas” bisa terpampang di ruang publik, dengan mudah untuk dapat exposure (kesan) ala anak zaman sekarang berkat seni jalanan yang dibuat oleh para seniman.
Salah satu contoh kasus graffiti yang dihapus kembali oleh pemerintah adalah sebuah graffiti bertuliskan “Tuhan Aku Lapar” di Jalan Aria Wangsakara, Kabupaten Tanggerang. Pemerintah secara tegas langsung mengutus pihak berwenang untuk menghapus graffiti itu dan mencari siapa dalang (orang) dibalik hasil karya seni itu. Yang menjadi pertanyaan adalah, mengapa pemerintah harus merasa terusik? Tulisan itu hanya sebuah ekspresi diri dan tidak dimaksudkan untuk menyinggung siapa pun di muka bumi ini, kan?
Graffiti “Tuhan Aku Lapar” ini dianggap menjadi sebuah vandalisme oleh pemerintah. Padahal pada kenyataannya graffiti itu sama sekali tidak merusak fasilitas publik. Mereka melakukannya di tembok kosong yang ada di Tanggerang. Dan juga tidak dibuat secara asal-asalan, namun juga mengedepankan estetika agar tulisan tersebut terlihat indah. Kembali lagi menjadi sebuah pertanyaan, apakah pemerintah kurang pandai membedakan antara seni atau vandalisme?
Sehingga nampaknya, apa pun yang berada di tembok disebut sebagai vandalisme? Atau mereka terlalu banyak waktu sehingga di sela-sela pekerjaannya, mereka bisa melakukan pemeriksaan terhadap seni jalanan itu? Sungguh mulia ternyata bapak dan ibu yang berada di jajaran pemerintahan ini. Mereka masih bisa mengapresiasi seni dengan memperhatikan berbagai macam seni yang muncul.
Isu penghapusan mural ini mendapat perhatian dari aliansi rakyat yang terguggah dari keadaan ini. Aliansi itu adalah Gejayan Memanggil, mereka mengadakan suatu perlombaan mural dalam rangka memperingati bulan kemerdekaan Indonesia. Dengan judul “Lomba Mural #Dibungkam”, Gejayan Memanggil mengajak seluruh elemen masyarakat untuk membuat mural sebagai representasi dari perasaan rakyat.
Hadiah pemenang lomba ini ditentukan dari seberapa cepatnya mural yang dihasilkan oleh warga atau komunitas seni jalanan yang akan pertama kali dihapus oleh petugas setempat. Semakin cepat mural dihapus, maka karya seni jalan itulah yang akan menjadi pemenangnya. Dengan adanya seruan ini, banyak seniman jalanan ataupun warga secara sengaja menjadi, memberanikan dirinya untuk menuangkan idenya melalui sebuah seni yang mereka gandrungi.
Mbok toh ya, kalau ada yang menghiasi ruang publik secara sukarela akan lebih baik jika diapresiasi. Bukan dengan cara dihapus secara paksa, dikutip dari Tempo.co.id pada bulan maret lalu, presiden kelima Indonesia, Megawati Soekarnoputri baru saja berkata kepada anak muda tidak boleh takut untuk berkreasi. Namun, nyatanya saat ini keadaan berbanding terbalik dengan apa yang telah dilontarkan oleh ibu Mega.
Editor: Dimas Rachmatsyah