Makna Hari Ibu, Perjuangan Perempuan Indonesia di Masa Lampau

Pict source: Tirto.id

Hari Ibu Nasional diperingati setiap tahunnya pada tanggal 22 Desember. Tahun ini, Hari Ibu diperingati untuk yang ke-92 tahun sejak 1928. Peringatan Hari Ibu (PHI) dirayakan setiap tahunnya sebagai bentuk penghargaan kepada perjuangan perempuan Indonesia dari masa ke masa.

Jika berbicara tentang Hari Ibu tentunya tak akan lepas dari kata emansipasi wanita juga sosok-sosok tangguh yang terlibat di dalamnya. Tidak hanya sekadar bentuk penghargaan terhadap sosok ibu, Hari Ibu juga memiliki nilai historis yang kaya akan nilai perjuangan.

Dikutip dari PikiranRakyat.com, sejarah lahirnya Hari Ibu berawal dari para pejuang wanita Indonesia dari Jawa dan Sumatera yang kala itu berkumpul untuk mengadakan Kongres Perempuan Indonesia I. Di gedung Mandalabhakti Wanitatama di Jalan Adisucipto, Yogyakarta lah 30 organisasi perempuan dari 12 kota di Jawa dan Sumatera berkumpul hingga kemudian terbentuk Kongres Perempuan yang kini dikenal sebagai Kongres Wanita Indonesia (Kowani).

Peranan perempuan dalam perjuangan kemerdekaan, peranan perempuan dalam berbagai aspek pembangunan bangsa, perbaikan gizi dan kesehatan bagi ibu dan balita, pernikahan usia dini bagi perempuan, kurang lebih topik-topik tersebut lah yang menjadi agenda dalam kongres pertama. Pada saat itu hal-hal besar banyak diagendakan namun tanpa mengangkat masalah kesetaraan gender. Para pejuang perempuan itu menuangkan pemikirannya, juga upaya-upaya yang amat penting bagi kemajuan bangsa Indonesia khususnya kaum perempuan.

Pada Juli 1935 dilaksanakan Kongres Perempuan Indonesia II, dalam kongres ini dibentuk BPBH (Badan Pemberantasan Buta Huruf) dan menentang perlakuan tidak wajar atas buruh wanita perusahaan batik di Lasem, Rembang. Hingga selanjutnya Penetapan Hari Ibu pada tanggal 22 Desember diputuskan dalam Kongres Perempuan Indonesia III pada tahun 1938. 

Tanggal 22 Desember ditetapkan secara resmi sebagai Hari Ibu ialah setelah Presiden Soekarno, melalui Dekrit Presiden No. 316 tahun 1959, menetapkan bahwa tanggal 22 Desember adalah Hari Ibu dan dirayakan secara nasional hingga saat ini. Dengan tujuan awal untuk mengenang semangat dan perjuangan para perempuan dalam upaya perbaikan kualitas bangsa ini.

Salah satu pahlawan wanita sebagai pejuang emansipasi wanita adalah Raden Dewi Sartika. Raden Dewi Sartika merupakan salah satu tokoh pejuang emansipasi perempuan. Sama halnya dengan RA Kartini, perempuan yang dilahirkan di Cicalengka, 4 Desember 1884 ini, bercita-cita memajukan pendidikan para perempuan.

Dewi Sartika dibesarkan oleh seorang priyayi (kelas bangsawan) Sunda yaitu Raden Somanagara. Ibunya juga merupakan perempuan Sunda yang bernama Nyi Raden Ayu Rajapermas. Kedua orangtua Dewi Sartika juga merupakan pejuang Indonesia yang menentang pemerintah Hindia Belanda. Akibatnya, mereka mendapat hukuman keras dari pemerintah Hindia Belanda, diasingkan ke Ternate dan terpisah dari Dewi Sartika.

Setelah kedua orang tua Dewi Sartika meninggal, dia diasuh oleh pamannya yang merupakan kakak kandung dari Ibundanya, yang bernama Aria. Dia merupakan seorang patih di Cicalengka. Dari sang Paman lah, Dewi Sartika mendapatkan ilmu pengetahuannya terkait adat budaya sunda.

Selain itu, seorang Asisten Residen berkebangsaan Belanda juga mengajarkan Dewi Sartika tentang budaya dan adat bangsa Barat. Kedua orang tua Dewi Sartika sebenarnya sudah mengenalkannya tentang pendidikan sedari kecil – meskipun hal tersebut bertentangan bagi seorang perempuan pada kala itu. Dewi Sartika juga mengenyam pendidikan Sekolah Dasar di Cicalengka.

Minat Dewi Sartika terhadap dunia pendidikan sudah terlihat sejak masih anak-anak. Dia seringkali bermain guru-guruan dengan anak seusianya. Karena mahir membaca dan menulis, Dewi Sartika sering berperan sebagai guru. Dia mengaplikasikan kemampuannya dengan mengajarkan anak-anak di sekitarnya, khususnya anak perempuan pribumi.

Dewi Sartika juga memiliki kemampuan berbahasa Bahasa Belanda. Menginjak usia remaja, Dewi Sartika mulai mengajarkan baca dan tulis kepada warga sekitar. Hal inilah yang menjadi cikal bakal Dewi Sartika atas upayanya agar anak-anak perempuan memperoleh pendidikan yang sama.

Pada 16 Januari 1904, Dewi Sartika mulai mendirikan sekolah. Hal ini juga mendapatkan dukungan dari Kakeknya, Raden Agung A Martanegara dan seorang Inspektur Kantor Pengajaran, Den Hamer. Dewi Sartika berhasil mendirikan sebuah sekolah untuk kaum perempuan yang bernama Sekolah Isteri.

Ketika pertama kali dibuka, Sekolah Isteri hanya memiliki 20 murid wanita. Di sekolah itu, para wanita tidak hanya sekadar belajar membaca, menulis dan berhitung. Mereka turut belajar menjahit, merenda, dan belajar agama.

Dua tahun setelah mendirikan Sekolah Isteri, tepatnya pada 1906, Dewi Sartika menikah dengan salah seorang guru di Sekolah Karang Pamulang, yang menjadi Sekolah Latihan Guru. Kesamaan visi dan misi di antara mereka berdua menambah semangat Dewi Sartika.

Sekolah Isteri hanya memiliki dua ruang kelas. Jumlah wanita yang ingin bersekolah terus meningkat. Alhasil, ruang kelas ditambah dengan meminjam sebagian ruang kepatihan Bandung. Namun, masyarakat yang mendaftar terus bertambah setiap harinya. Karena ruang kepatihan Bandung yang telah dipinjam sudah tidak cukup lagi, sekolah dipindahkan.

Perpindahan tempat turut mengubah nama sekolah menjadi Sekolah Keutamaan Isteri. Sejalan dengan kepindahan sekolah, pada tahun 1910, Sekolah Keutamaan Isteri resmi dibuka di gedung yang lebih luas.

Sekolah keutamaan Isteri yang telah dibuka memiliki beberapa perbedaan dari sebelumnya. Para wanita tidak hanya diajarkan keterampilan seperti menjahit saja. Namun, dididik untuk menjadi istri. Gadis-gadis yang nantinya akan menjadi istri mendapat pelajaran bagaimana menjadi ibu rumah tangga yang baik, mandiri dan terampil.

Dua tahun setelah perpindahan Sekolah Keutamaan Isteri, perempuan-perempuan di tanahSunda yang memiliki cita-cita yang sama dengan Dewi Sartika mulai berani mendirikan sekolah-sekolah untuk perempuan. Hingga tahun 1912, jumlah sekolah isteri mencapai sembilan sekolah.

Tidak hanya itu, banyaknya sekolah perempuan di Sunda memunculkan kembali ide untuk mendirikan organisasi. Tahun 1913, berdiri Organisasi Keutamaan Isteri yang bertujuan untuk menaungi sekolah-sekolah yang telah didirikan di Tasikmalaya. Organisasi ini sengaja dibentuk, guna menyatukan sistem pembelajaran dari sekolah-sekolah yang telah dibangun Dewi Sartika.

Sekolah Keutamaan Isteri kembali berubah nama menjadi Sekolah Keutamaan Perempuan. Pada masa itu, seperempat wilayah Jawa Barat telah berdiri Sekolah Keutamaan Perempuan. Seorang wanita bernama Encik Rama Saleh, terinspirasi oleh Dewi Sartika. Dia juga mendirikan sekolah di wilayah Bukittinggi.

Tahun 1929, Sekolah Keutamaan Perempuan berubah nama menjadi Sekolah Raden Dewi. Bahkan, Pemerintah Hindia Belanda memberikan apresiasi dengan membangunkan sebuah gedung sekolah baru yang lebih besar dari sebelumnya. Dewi Sartika juga ikut banting tulang, untuk membayar pengeluaran operasional sekolah. Dia tak pernah mengeluh dan merasa terobati saat melihat kaumnya bisa memperoleh pendidikan.

Dewi Sartika hidup bersama warga dan pejuang di Sunda saat memasuki usia senja. Pada 1947, Belanda kembali melakukan serangan agresi militer. Dewi Sartika bersama seluruh rakyat pribumi dan pejuang lainnya ikut melawan untuk membela tanah air. Seluruh penduduk kemudian mengungsi untuk mempertahankan Indonesia.

            Saat berada di pengungsian, pada 11 September tahun 1947, Dewi Sartika mengembuskan napas terakhirnya di Tasikmalaya. Karena masih dalam situasi perang, pemakaman dan upacara dilakukan secara sederhana. Pemakaman Cigagadon yang ada di Desa Rahayu, Kecamatan Cineam adalah makam dari Dewi Sartika.

Usai perang agresi militer, sekitar tahun 1950, makam Dewi Sartika dipindahkan ke kompleks Pemakaman Bupati Bandung di Jl. Karang Anyar – Bandung. Sesuai SK Presiden RI Nomor 152 Tahun 1966, Dewi Sartika mendapat penghargaan sebagai Pahlawan Nasional, tepatnya pada tanggal 1 Desember 1966. Saat itu juga, Sekolah Keutamaan Isteri berusia 35 tahun dan mendapat gelar Orde van Oranje-Nassau.

Setiap hari besar tentunya memiliki nilai historisnya masing-masing. Seperti yang kita ketahui, momen Hari Ibu ini memiliki nilai perjuangan dari wanita-wanita Tangguh Indonesia di masa lampau. Selain Dewi Sartika tentunya masih banyak yang menyuarakan pejuangan serupa pada masa tersebut seperti Nyi Hajar Dewantara, Sujatin Kartowijono, R A Kartini, dan banyak lagi.

Namun, tanpa penghargaan serta penerapan nilai-nilai serupa, dari kita sebagai kaum penerus, perjuangan tersebut sia-sia dan akan sirna dari ingatan generasi berikutnya.

Selamat Hari Ibu!


Teks Oleh: Mahesa Alghifari.